Fotografer: Jeremia Oktaviano
Irama Istimewa Musik Eropa-Indonesia
Oleh: Audie Ferrell
Bertemunya dua budaya acapkali menjadi katalis lahirnya berbagai seni yang unik dan baru. Tak ubahnya musik blasteran karya Duo Saraswati, yang dinahkodai oleh cellis Jan van der Plas and pianis Kris van der Plas. Repertoar kakak-beradik keturunan Belanda-Bali tersebut menggabungkan jajaran musik klasik Eropa dengan irama tradisional Indonesia. Sabtu (08/04/2023), keduanya hadir di Gedung Kesenian Cak Durasim Surabaya sebagai bagian dari tur “Classical Concert Cello-Piano: Duo Saraswati”. Konser ini dipersembahkan oleh Erasmus Huis-Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta bersama dengan Amadeus Enterprise selaku partner penyelenggara di Surabaya. Selain di kota pahlawan, tur ini juga tampil di Medan pada Rabu (05/04/2023) dan Jakarta pada Rabu (12/04/2023).
Acara dibuka pada pukul 16.00 WIB oleh Fransisca Ivone Palyama selaku master of ceremony (MC). Kemudian, Bob Wardhana selaku manajer proyek Erasmus Huis turut hadir untuk menyapa audiens. Tak lupa, Patrisna May Widuri selaku Direktur Seni Amadeus Enterprise turut hadir untuk menuturkan sambutan. Patrisna mengapresiasi animo masyarakat dalam menghadiri konser. Selain itu, ia juga berterima kasih atas kedatangan Jan serta Kris yang ikut meramaikan panggung musik Surabaya.
Konser dibuka dengan dua aransemen musik upacara adat Bali oleh Colin McPhee. Dendang transkripsi etnomusikolog Kanada-Amerika tersebut kemudian disusul “Cello Sonata” gubahan Claude Debussy. Jan menjelaskan, sonata karya komponis kawakan Prancis tersebut merupakan salah satu contoh musik Eropa yang memadukan motif musik gamelan Jawa. Kris kemudian memperkenalkan sembilan tembang pilihan dari “Antologi Musik Klasik Indonesia”. Seleksi ini didominasi musik-musik ciptaan Mochtar Embut, dengan tujuh nomor berjudul “Rambut”, “Srikandi”, “Angin Jahat”, “Setitik Embun”, “Senja di Pelabuhan Perahu”, “Kekasih”, dan “Sandiwara”.Selain itu, lantunan “Cempaka Kuning” karya Sjafi’i Embut dan “Kisah Mawar di Malam Hari” oleh Iskandar juga turut mengisi gelanggang.
Selepas jeda singkat, konser dilanjutkan dengan performa aransemen orisinal lagu “Srikandi” untuk trio cello dan piano oleh Evan Favian Tanudjaja. Nomor ini spesial karena dimainkan bersama dua musisi muda Surabaya, yaitu Angela Jana Prasetya dan Mohammad Syaifur Rahman. “Sejak awal sebelum berangkat ke Indonesia, kami memang berniat untuk berkolaborasi bersama cellis lokal,” ungkap Jan dan Kris. Selanjutnya dimainkan siklus lagu impresionistik “Trois poèmes de Stéphane Mallarmé” garapan Maurice Ravel, yang diadaptasi dari puisi gubahan penyair Stéphane Mallarmé.
Terakhir, rangkaian program diakhiri dengan pementasan “Cello Sonata” karya pianis Francis Poulenc. “Seperti Debussy, Poulenc juga terinspirasi musik gamelan. Bedanya, gamelan yang ia dengar adalah gamelan Bali,” terang Jan. Alumnus Conservatorium van Amsterdam tersebut juga menjelaskan pilihan komponis Eropanya yang semuanya berasal dari Prancis. “Bahkan dibandingkan dengan Belanda, kehadiran musik Indonesia lebih terasa di Prancis. Hal ini dikarenakan adanya pertukaran budaya melalui berbagai pameran dunia di abad ke-19 dan 20,” tuturnya. Pukul 17.57 WIB, acara ditutup dengan penyerahan cinderamata dan foto bersama.
Sebagai seni komunal, musik memiliki potensi kuat membangkitkan kesadaran mengenai tak terindahkannya pertukaran antarbudaya. Musik klasik yang identik dengan benua biru pun ternyata juga memiliki unsur musik Indonesia didalamnya. Di dunia yang semakin penuh dengan polarisasi, eksibisi seni memiliki peran penting untuk menarik bangsa dan masyarakat bersama. Jadi, teruslah melihat kekayaan dalam perbedaan ya, Sobat GENTA!