Silent Treatment: Senjata atau Bumerang?

Ilustrator: Christopher Agung

Silent Treatment: Senjata atau Bumerang?

Oleh: Fransiska Felicia

“Diam itu emas”, sebuah pepatah yang tak pernah lekang oleh waktu. Tentunya banyak dari Sobat GENTA yang sering mendengar pepatah tersebut. Silent treatment menjadi bukti relevan dari eksistensi diam sebagai salah satu bentuk komunikasi non-verbal. Alih-alih bersifat positif, silent treatment seringkali diartikan sebagai bentuk komunikasi yang negatif. Silent treatment sendiri merupakan sebuah respon penolakan dalam bentuk diam kepada lawan bicara. Beberapa orang melakukan tindakan ini dengan alasan untuk menghindari konflik, bentuk komunikasi, dan hukuman.

Penerapan silent treatment awalnya ditujukan sebagai hukuman bagi narapidana pada tahun 1835. Dilansir oleh ABC Life, silent treatment menjadi alternatif dari hukuman fisik yang diterima narapidana. Hukuman ini dilakukan dengan melarang narapidana berbicara dan menutup wajah mereka. Dengan demikian, narapidana tidak dianggap dan diabaikan keberadaannya. Hasil yang didapatkan melalui hukuman ini adalah rasa tidak dihargai dan terabaikan. Narapidana merasa mental mereka diuji karena keberadaan mereka dianggap seolah tidak ada. Faktanya, terlalu sering menerima perlakuan silent treatment dapat menurunkan kepercayaan diri seseorang.

Bentuk diam sebagai respon konflik seringkali berdampak negatif, terutama apabila dilakukan secara berkala. Meskipun setiap orang memiliki cara masing-masing untuk meredam emosi, silent treatment dianggap tidak baik dan seringkali mengarah ke retaknya suatu relasi. Menurut James Altucher, penulis buku The Power Of Yes dan The Power Of No, mengabaikan seseorang adalah cara terburuk untuk menyelesaikan masalah. Bukannya terselesaikan, masalah tersebut justru akan menumpuk dan memperburuk komunikasi dalam suatu relasi.

Silent treatment juga berdampak negatif kepada kondisi psikologis seseorang. Seseorang yang sering mengalami silent treatment akan merasa dikucilkan, sulit untuk percaya, muncul rasa benci, dan kepercayaan diri rendah. Keberadaan silent treatment dianggap sebagai ancaman, sehingga seseorang merasa di bawah kendali pelaku. Menurut Susan Forward, silent treatment dapat digunakan sebagai pengendalian dan manipulasi dalam suatu hubungan. Apabila silent treatment dilakukan dalam waktu yang lama, dapat membuat korban merasa stres, depresi, dan berbagai gangguan psikologis lainnya.

Tidak hanya secara psikologis, silent treatment juga berdampak negatif terhadap kondisi fisik seseorang. Melalui sebuah penelitian yang diterbitkan jurnal Frontiers in Evolutionary Neuroscience, bagian otak yang bernama korteks cingulate anterior, yakni bagian otak yang mencatat rasa sakit akan bekerja keras terhadap silent treatment. Tubuh kemudian akan merespon silent treatment sebagai sebuah rasa sakit. Kemudian, tubuh akan mengalami sejumlah perubahan seperti perubahan berat badan, gangguan tidur, atau peningkatan tekanan darah. Beberapa orang yang merasakan dampak dari perilaku ini juga mengalami stres berkepanjangan yang mengarah kepada penyakit kronis kardiovaskular. 

Silent treatment menjadi sebuah kebiasaan bagi beberapa orang. Melalui beberapa karya seperti film atau buku, silent treatment diangkat sebagai sebuah topik untuk karya mereka. Dapat ditemukan berbagai video, tulisan, dan berbagai karya lain untuk mengedukasi masyarakat mengenai bahaya silent treatment. Silent treatment dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan secara emosional terhadap korban. Dengan berdasar pada pemikiran inilah, diperlukan kesadaran masyarakat untuk menghindari perilaku diam ini.

Menyikapi silent treatment dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan tetap bersikap tenang dan berusaha untuk berkomunikasi. Melalui berbagai pemaparan tentang silent treatment, diam bukanlah jawaban untuk mengatasi masalah. Diperlukan kepribadian yang tenang dan mau mengalah untuk menyelesaikan konflik dengan damai. Dengan demikian, Sobat harus berani menyampaikan keluhan dibandingkan saling mendiamkan. Sebab, saling mendiamkan hanya akan berujung pada kesalahpahaman lainnya. 

Cara selanjutnya adalah melakukan refleksi diri dan menemukan akar masalah. Kebanyakan pelaku silent treatment berasumsi apabila seseorang akan berusaha memperbaiki diri mereka saat berdiam diri. Asumsi ini yang menjadikan kedua pihak sulit untuk berkomunikasi lagi. Oleh karena itu, Sobat dapat memulai percakapan untuk menghindari masa diam dengan pelaku silent treatment. Kemudian, mulailah sebuah obrolan mengenai masalah yang dimiliki Sobat dan pelaku.

Di sisi lain, apabila Sobat sering menjadi pelaku silent treatment, diperlukan kesabaran ekstra dan keberanian untuk mengungkapkan permasalahan yang Sobat miliki. Silent treatment mungkin merupakan sebuah bentuk komunikasi terbaik untuk menghindari masalah dan rasa kesal. Akan tetapi, penerapan perilaku ini yang terlalu sering dapat membuat orang-orang di sekitar Sobat merasa kesal dan tak dianggap. 
Di masa kini, silent treatment dianggap menjadi suatu solusi terhadap konflik. Akan tetapi, keberadaan silent treatment sejatinya hanya akan memperburuk masalah. Keberadaan silent treatment juga dapat mengganggu berbagai relasi. Keretakan relasi dapat berujung pada perselisihan dan salah paham yang sulit dihindari. Jadi, diperlukan kesabaran ekstra untuk mengatasi terjadinya keretakan hubungan. Kepribadian yang berjiwa besar dan pemaaf diperlukan untuk mengatasi terjadinya perilaku ini yang kian lama makin menjamur. Mari hindari perlakuan silent treatment dengan menjadi pribadi yang pemaaf dan berani mengungkapkan permasalahan yang ada ya, Sobat!

About the author /