Talk Show Anti Elitism: Realisasi Ruang Introspeksi Diri

Fotografer: Vanessa Nelwan

Talk Show Anti Elitism: Realisasi Ruang Introspeksi Diri

Oleh: Catherine Ivana

Fenomena bullying kerap merusak mental serta kepribadian seseorang. Bullying ibarat dua sisi mata uang yang harus ditinjau dari pihak pelaku maupun korban. Menilik hal tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Kristen (UK) Petra menggarap talk show bertajuk “Anti Elitism” dengan tema “Anti bullying: What If It Was You” pada Jumat (12/11/2021). Seri talk show nasional ini sendiri telah digelar pada Jumat (05/11/2021) dan akan dilanjutkan pada Jumat (19/11/2021). Acara ini terbuka bagi umum dan dilaksanakan secara daring melalui media Zoom. 

Tepat pukul 18.00 WIB, Ivani Boenadhi dan Marcela Regina Yunarto selaku master of ceremonies (MC) mengawali seluruh rangkaian acara dengan doa. Melalui kegiatan ini, Gregorius Stevio Kwenardi selaku ketua acara mengajak peserta untuk membuka mata terhadap efek jangka panjang dari bullying. Stevio berharap, peserta dapat lebih unggul dari segi kognitif sehingga mampu menjadi roda penggerak dalam meminimalisir kasus bullying di Indonesia. 

Sesi talk show dibuka oleh Alexandra Phuan sebagai moderator. Pada kesempatan ini, Dr. Christin Wibhowo, S.Psi., M.Si. selaku narasumber memberikan wejangan terkait masalah bullying. Menurutnya, tolak ukur bullying atau perundungan dapat dijumpai kala seorang individu atau kelompok melakukan tindak kekerasan yang bersifat tidak seimbang. Hal ini dilakukan dengan merendahkan serta merugikan pihak lain sehingga korban menjadi tidak berdaya. 

Christin turut menjelaskan, apabila ditinjau dari sisi psikologis, pelaku dan korban memiliki persamaan, yakni karakter tidak percaya diri dan agresif. Pelaku memiliki kepribadian agresif aktif sehingga berani mengusik orang lain. Sebab pelaku berasumsi, ia mampu mengangkat dirinya lebih tinggi dengan upaya menjatuhkan orang lain. Sementara itu, korban memiliki kepribadian agresif pasif. Dampaknya, ia tidak mampu mempertahankan dirinya dan tidak memiliki potensi untuk membalas tindakan perundungan yang terjadi. 

Maraknya aksi bullying tidak boleh dianggap remeh sebab dapat berpotensi buruk dalam jangka waktu panjang. Menyoroti hal tersebut, psikolog keluarga dan pernikahan ini turut menguak tindakan preventif yang krusial. Kuncinya adalah memiliki sikap asertif, yaitu keterampilan diri dalam berkomunikasi tanpa menyinggung orang lain. Ia juga menambahkan, baik pelaku maupun korban harus memusatkan seluruh fokus mereka terhadap prestasi. “Kita boleh unik di prestasi namun jangan aneh di perilaku,” imbuh Christin.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata ini mengajak peserta untuk fokus terhadap aspek yang dapat diubah dan mengabaikan aspek yang tidak dapat diubah. Sebab ketika beranjak ke usia 18 tahun, perilaku seseorang telah menjadi tanggung jawab pribadi. “Usia ini merupakan sebuah ultimatum untuk memutus hubungan dengan masa lalu yang buruk. Sebab, pemecahan masalah yang benar terjadi ketika kita mencari dan menerima dukungan dari orang lain,” tegas Christin. Setelah itu, acara pun ditutup dengan sesi foto bersama dan doa.

Melakukan aksi bullying dengan bersembunyi di balik luka masa lampau bukanlah suatu hal yang baik. Namun, berdiam diri ketika mengalami perundungan juga tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebab, kesehatan mental ditunjukkan melalui tindakan seseorang yang tidak menyakiti dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, daripada saling menyakiti, sebaiknya fokus pada hobi dan prestasimu saja ya, Sobat GENTA!

About the author /