Illustrator: Jessica Vanessa
Self-diagnose: Berlabuh dalam Terkaan
Oleh: Gabriella Christy
Pernahkah Sobat GENTA tiba-tiba merasa burn out di tengah pekerjaan dan memilih untuk mengambil waktu untuk beristirahat? Namun, di kala istirahat tersebut Sobat justru berpikir, “Wah, sepertinya aku sedang depresi karena pekerjaan yang banyak ini.” Kemudian, kekhawatiran ini berujung menghambat keberlangsungan aktivitas sehari-hari Sobat. Tak hanya mengganggu mental, pemikiran seperti di atas juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik, lho! Nah, hal tersebut merupakan contoh dari fenomena self-diagnose.
Self-diagnose sendiri merupakan kondisi dimana seseorang berasumsi terkena suatu penyakit berdasarkan analisanya sendiri. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Imas Maskanah seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, kebanyakan orang melakukan self-diagnose karena merasa penasaran, bingung, tertekan dan tidak dapat menahan emosi negatif. Alhasil, mereka memilih untuk mencari informasi terkait gejala yang dialami dan mencocokkannya dengan gejala suatu gangguan kesehatan. Sebagian besar orang juga mencari informasi penyakit hanya melalui situs daring. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Change.org, pada tahun 2021, lebih banyak orang yang memilih mengakses layanan kesehatan melalui internet daripada berkonsultasi dengan pakar kesehatan.
Fenomena ini sedang marak terjadi di kalangan anak muda, beberapa di antara mereka menganggap penyakit mental menjadi tren. Kebanyakan dari mereka mengklaim dirinya mengidap penyakit mental tertentu. Padahal, hanya dokter atau tenaga medis profesional yang boleh mendiagnosis seseorang. Sebab, self-diagnose yang salah mampu membuat seseorang menjadi cemas dan menghambat kinerjanya. Risiko yang lebih parah adalah penderita mengonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter.
Berdasarkan beberapa penelitian, gangguan kesehatan mental yang diakibatkan oleh self-diagnose dapat mengganggu dan menghambat aktivitas sehari-hari. Perilaku ini menyebabkan kecemasan berlebih, ketakutan, rasa tertekan, dan stres. Seseorang yang tindakan self-diagnose juga dapat membatasi kemampuan dirinya dalam berkreasi dan berekspresi. Beberapa di antaranya juga mulai berperilaku seperti gejala penyakit yang didiagnosis.
Selain itu, self-diagnose juga dapat membuat gangguan kesehatan lain yang lebih serius menjadi tidak terdeteksi. Sebagai contoh, anxiety disorder yang didiagnosis secara mandiri bisa jadi diakibatkan oleh masalah pada kelenjar tiroid. Contoh lainnya, tumor otak dapat mempengaruhi sisi otak yang mengatur emosi dan kepribadian. Seseorang yang mendiagnosis dirinya menderita penyakit mental, bisa jadi memiliki masalah kesehatan yang lebih serius dan krusial.
Dampak yang lebih fatal dapat terjadi apabila seseorang salah mengonsumsi obat-obatan. Misalnya, seseorang mengonsumsi obat antidepresan karena merasa dirinya mengidap penyakit mental. Padahal, obat ini tidak memberikan efek apabila seseorang tidak mengalami gangguan mental. Mengonsumsi obat tidak sesuai dengan dosis juga dapat menyebabkan gangguan dalam tubuh, contohnya suhu tubuh meningkat, denyut nadi yang semakin cepat, sistem pernapasan terganggu, dan lain lain.
Self-diagnose juga dapat memicu gangguan kesehatan atau penyakit baru yang sebelumnya tidak dialami. Beberapa penyakit fisik memberikan gejala yang sama yang menyerupai gejala depresi dan stress. Jika tidak didiagnosis secara tepat, diagnosis yang salah dapat membawa seseorang menjadi khawatir dan mengalami depresi yang sebelumnya tidak dialami. Kekhawatiran dan kecemasan yang dirasakan juga dapat membuat imun tubuh turun dan membuat tubuh terjangkit penyakit lain.
Seseorang yang mendiagnosis dirinya terjangkit suatu penyakit dapat membatasi dirinya sendiri dalam beraktivitas. Sebagai contoh, orang yang berasumsi sedang sakit, akan merasa dirinya harus menjaga jarak dari orang lain dan membatasi aktivitasnya. Selain itu, diagnosis yang salah juga dapat membuat orang mengalami sugesti terhadap dirinya sedang terjangkit suatu penyakit, sehingga merasa gejala tertentu terjadi pada dirinya. Sugesti ini dapat membuat seseorang merasa tidak mampu, mudah lelah, membatasi dirinya, dan masih banyak lagi.
Self-diagnose memang bisa menjadi salah satu tanda Sobat peduli dengan kondisi diri sendiri. Namun, sebaiknya Sobat tidak melakukan self-diagnose karena ada berbagai dampak negatif yang menanti di baliknya. Yuk, intip beberapa tips untuk Sobat mencegah terjadinya fenomena ini!
Pertama, tidak semua informasi yang disajikan adalah akurat. Pilah kembali informasi mana yang berasal dari sumber kredibel dan memang dipublikasikan oleh ahlinya, seperti psikolog, psikiater, dokter, atau lembaga kesehatan resmi.
Selanjutnya, jangan jadikan seorang penderita gangguan kesehatan tertentu sebagai rujukan. Terkadang, orang cenderung membandingkan gejala yang dialami dengan pengalaman seseorang. Persamaan gejala atau kondisi ini dapat mendorong diri untuk mendiagnosis dengan penyakit yang sama. Perlu diingat, kondisi tubuh setiap orang berbeda dan gejala yang sama dapat mengacu pada penyakit yang berbeda pula.
Tips ketiga, hindari tes daring mengenai kesehatan mental. Jangan jadikan tes ini sebagai patokan penyakit apa yang dialami. Hasil tes belum tentu akurat dengan kondisi yang dialami. Sebab, hasil tes ini hanya berdasar pada gejala umum dan bukan gejala yang spesifik. Tidak hanya itu, diagnosis dari teman, keluarga, atau orang lain yang bukan merupakan ahli medis pun termasuk dalam self-diagnose. Dengan mudah percaya, dapat membawa Sobat untuk mengalami kecemasan berlebihan atau overthinking.
Tips terakhir adalah periksakan diri jika merasa ada gejala penyakit. Langkah yang tepat adalah Sobat langsung mencari pertolongan dari pakar atau ahli. Dokter, psikolog, dan psikiater jauh lebih mengerti gejala yang Sobat alami. Mereka bisa memberikan diagnosis sesuai dengan kondisi tubuh dan gejala yang Sobat alami.
Menjaga kesehatan fisik dan mental sangat penting di tengah kepadatan pekerjaan. Kelelahan karena jadwal dan pekerjaan yang padat merupakan hal yang normal untuk terjadi. Ambil waktu untuk rehat dan bersantai sejenak, namun, jangan sampai larut dalam pikiran negatif. Tetap semangat, jaga kesehatan, dan jangan lupa istirahat, ya, Sobat GENTA!