Mengungkap Suara Hati Teman Tuli

Fotografer: Christopher Mathew, Justin Prawiro

Mengungkap Suara Hati Teman Tuli

Oleh: Winston Sujayaputera

Tak jarang kehadiran penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata karena keterbatasan mereka. Padahal, mereka sebenarnya sama seperti manusia normal pada umumnya, sama-sama ingin berkarya dan bekerja. Melihat kondisi tersebut, tim produksi yang terdiri atas lima mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen (UK) Petra ingin meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penyandang tuli. Mereka adalah Thomas Lesmono, Chellent Karunia, Putri Kurnia, Sisilia Wijaya, dan Nicholas Abdiel. Melalui penayangan film dokumenter berjudul “Life of Silence”, tim produksi ingin menunjukkan kisah perjalanan hidup seorang penyandang tuli. Bagaimana cerita mereka selanjutnya? Yuk, mari kita simak kisahnya! 

Berawal dari sekadar tugas ujian akhir semester (UAS) yang diberikan oleh dosen, tim produksi akhirnya memutuskan untuk menayangkan film dokumenter tersebut ke layar lebar. Film ini perdana ditayangkan di Bioskop CGV BG Junction pada Selasa (21/12/2021). Sekitar pukul 14.30 WIB, tamu undangan masuk ke dalam ruangan bioskop yang sudah tersedia. Acara ini dihadiri oleh Sinarto, S.Kar., M.M. selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Ia mengapresiasi kerja keras dari seluruh pihak yang turut serta berpartisipasi dalam merealisasikan film tersebut. Tidak hanya itu, hadir pula Prof. Dr. Ir. Djwantoro Hardjito, M.Eng. selaku Rektor UK Petra. Ia mengungkapkan kebanggaannya terhadap mahasiswa UK Petra yang tidak hanya menunjukkan kepedulian, tetapi juga dapat mengeksplorasi talenta mereka untuk berdampak bagi sesama.

Film ini sendiri mengangkat kisah sosok Maulana Aditya, S.P. selaku tokoh utama. Ia merupakan seorang aktivis tuli asal Pasuruan. Dengan bantuan seorang penerjemah, ia berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Kehidupan Adit sendiri tidak jauh berbeda dari orang-orang pada umumnya. Ia mampu menyelesaikan sekolah hingga mendapatkan gelar sarjana di Universitas Brawijaya Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian. Dengan bekal yang didapatkan selama kuliah, ia pun mampu mengembangkan usaha dan menggantikan peran orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam kesehariannya, Adit sendiri juga merupakan ketua dari komunitas Akar Tuli Malang. Komunitas ini merupakan wadah bagi teman tuli untuk berkumpul dan berkarya. Meskipun terlahir dengan kekurangan, Adit tetap bersyukur karena dipertemukan dengan banyak orang luar biasa dalam hidupnya. Ia merasa terhormat dapat memiliki kesempatan untuk mewakilkan seluruh perasaan teman-teman tuli melalui film ini. 

Film dokumenter ini menceritakan kisah perjalanan Adit sebagai salah seorang teman tuli. Dalam kisahnya, ia berusaha mengungkapkan isi hati teman-teman tuli yang selama ini belum pernah tersampaikan. Keberadaan teman tuli sendiri sering kali diremehkan. Padahal nyatanya, mereka mampu melakukan segala aktivitas yang orang biasa dapat lakukan. Tidak hanya itu, teman tuli pun juga dapat merasakan hal yang dirasakan manusia pada umumnya. Mereka pernah merasakan kekecewaan, kepahitan, dan bahkan kesedihan. Kendati demikian, menjalani keseharian sebagai penyandang tuli bukanlah suatu hal yang mudah. Terdapat berbagai tantangan yang harus mereka lalui. Bentuk komunikasi yang sebagian besar bersifat lisan sering kali menjadi hambatan dalam keseharian mereka. Alhasil, terkadang kinerja mereka dalam bekerja terlihat kurang maksimal. 

Maka itu, melalui perannya sebagai tokoh utama, Adit ingin masyarakat dapat lebih mengenal teman tuli termasuk identitas mereka. Sebagai sesama manusia, Adit tidak ingin teman tuli terus dipandang sebagai kaum minoritas. Adit pun menekankan, mereka memiliki hak yang sama dengan teman dengar dan tidak seharusnya mendapatkan perlakuan yang berbeda. Di sisi lain, Adit beserta teman tuli lainnya tidak pernah menyangka perasaan mereka dapat diungkapkan di dalam bioskop melalui film tersebut. Mereka berharap, film ini tidak hanya berhenti sampai di bioskop saja, tetapi juga dapat mengikuti festival film yang ada. Dengan penayangan film ini, mereka juga berharap kesetaraan antara teman tuli dan teman dengar dapat menciptakan kolaborasi antara kedua belah pihak.

Berbicara mengenai produksi, Thomas sebagai produser sekaligus perwakilan tim pun membagikan kisahnya. Sejak pertama kali diberikan tugas UAS, mereka telah berinisiatif untuk memproduksi sebuah film yang bermanfaat bagi orang lain. Mereka ingin karya tersebut tidak hanya dinikmati secara kasat mata, tetapi juga dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi penonton. Di sisi lain, maraknya isu mengenai teman tuli menjadi alasan utama penayangan film “Life of Silence” di bioskop. Ia melihat munculnya film terkenal banyak mengangkat tokoh teman tuli dan isu penyuaraan perasaan teman tuli yang terjadi belakangan ini. Dari sana, ia menyadari adanya kesempatan untuk berdampak bagi teman tuli. Ia pun berharap film ini dapat tersebar luas dan menyadarkan banyak orang di luar sana mengenai kehidupan teman tuli. Tak lupa, ia berpesan, “Teman tuli dan teman disabilitas hanya berbeda fisik dengan kita semua. Mereka memiliki perasaan dan juga dapat melakukan semua hal yang kita lakukan. Jadi, sebarkan kasih seluas-luasnya karena kasih adalah bahasa yang bisa dipahami oleh seluruh umat manusia.”

Di balik kesuksesan dalam menggarap film tersebut, terdapat beberapa tantangan yang mereka hadapi, tanpa terkecuali masalah komunikasi. “Faktanya, dalam dua hari terakhir masa produksi, kita harus terjun berinteraksi secara langsung dengan teman tuli karena tidak tersedia juru bicara isyarat pada saat itu. Meskipun ada keterbatasan dalam berkomunikasi, kita semua sungguh bersyukur karena semuanya tetap dapat berjalan dengan baik dan lancar,” ujar Thomas. Putri selaku penulis naskah menambahkan, “Semua ini bisa terlaksana berkat berkah Tuhan yang turut menyertai kita semua.” Terlepas dari semua itu, Thomas bersama teman-temannya mengungkapkan keinginan mereka agar audiens turut merasakan perasaan teman tuli melalui tokoh Adit. Oleh sebab itu, film dokumenter ini memang tidak memiliki suara. Akan tetapi, terdapat subtitle agar teman dengar dapat mengikutinya.

Kepedulian masyarakat terhadap teman tuli tergolong masih sangat minim. Tak jarang teman tuli menerima perlakuan berbeda dari orang di sekitarnya. Padahal, mereka semua sama seperti kita yang memiliki perasaan dan cita-cita untuk dicapai. Nah, Sobat GENTA, mari kita terus menebarkan kasih dan kepedulian terhadap kaum disabilitas. Sebab, dukungan kecil dari Sobat akan sangat berarti bagi mereka.

About the author /