Mengungkap Sisi Lain Hidup Produktif

Illustrator: Jessica Vanessa Hudiono

Mengungkap Sisi Lain Hidup Produktif

Oleh: Winston Sujayaputera

Pernahkah Sobat menjumpai orang yang terlalu fokus bekerja hingga terkadang mengorbankan kesehatan mereka sendiri? Atau pernahkah Sobat menemukan teman yang mengikuti banyak kegiatan kepanitiaan hingga tak sempat beristirahat? Rupanya, kebiasaan yang kita anggap produktif tersebut dapat berujung menjadi workaholic. Dilansir dari situs brandongaille.com, sebanyak 30% dari total populasi manusia secara umum bersifat workaholic dan 33% dari mereka rentan terkena penyakit flu hingga migrain karena merasa stres. Lantas, apa itu sebenarnya workaholic? Mengapa gaya hidup seseorang yang produktif justru dapat berakhir ke arah workaholic?

Sejatinya, produktif dapat membawa berbagai keuntungan dalam kehidupan. Menurut Riko Orlando, seseorang yang produktif selalu meluangkan waktu untuk terus-menerus berkarya. Tak heran jika mereka, khususnya generasi milenial, menjadi lebih kreatif, memiliki pemikiran yang kritis, dan pintar mengelola diri dan waktu. Tidak hanya itu, kebiasaan produktif dapat berperan dalam mengubah pola pikir seseorang. Secara tidak langsung, produktivitas memengaruhi daya juang seseorang untuk mencapai sebuah prestasi.

Melihat kelebihan tersebut, sebagian orang menjadikan hal itu sebagai motivasi untuk berlaku produktif. Tidak hanya itu, setiap orang umumnya memiliki target yang ingin dicapai, seperti meraih prestasi. The Balance Careers pun menunjukkan, generasi milenial cenderung berani dan memiliki target pencapaian yang jelas dalam pekerjaannya. Keinginan untuk memenuhi target tersebut mendorong seseorang untuk menjadi lebih produktif. Sejalan dengan itu, produktivitas juga membiasakan seseorang untuk hidup lebih teratur. Misalnya, mereka telah mencatat rutinitas yang perlu dikerjakan dan menjalankannya sesuai jadwal. Alhasil, mereka lebih memahami kewajiban dan tanggung jawab yang harus diselesaikan.

Di sisi lain, tidak sedikit orang yang berlaku produktif dengan motivasi yang kurang tepat. Beberapa dari mereka justru berfokus pada keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang sekitar. Mereka beranggapan, dengan kehidupan yang produktif, orang-orang akan cenderung memberikan pujian atas keaktifan mereka. Selain itu, prestasi orang sekitar juga dapat memengaruhi tujuan produktivitas yang salah. Akibatnya, mereka menyibukkan diri dengan mengikuti banyak aktivitas hanya demi mengejar kesuksesan yang sama dengan orang lain.

Terkadang, karena motivasi yang kurang tepat tersebut, mereka justru lupa akan yang namanya batasan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempunyai suatu batasan dalam menjalani kehidupan agar tidak terjerumus menjadi workaholic. Berasal dari bahasa Inggris, kata workaholic sendiri merupakan suatu kondisi ketika seseorang terlalu mementingkan pekerjaan hingga melupakan aspek kehidupan lainnya. Orang yang workaholic umumnya merasa gelisah jika beristirahat atau berhenti bekerja hingga menomorduakan kesehatan pribadinya.

Orang-orang sering kali menganggap workaholic sebagai kondisi yang wajar karena dinilai mampu menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dari biasanya. Tanpa disadari, lama kelamaan kebiasaan ini dapat berdampak buruk. Salah satunya, perasaan bersalah timbul perlahan-lahan  ketika meninggalkan kebiasaan belajar meskipun hanya sebentar. Akibatnya, kita terus memaksakan tubuh kita untuk bekerja hingga mengalami burnout. Kondisi ini membuat seseorang kerap merasa depresi berlebihan, mudah frustrasi, dan menjadi emosional. Pada tahap ini, hubungan antarteman maupun keluarga dapat menjadi lebih renggang. Menanggapi masalah workaholic, Kai Fu Lee selaku mantan presiden Google China membagikan pengalamannya. Ia bercerita, “Workaholic telah menyebabkan kebingungan untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan karena pekerjaan adalah kehidupan saya. Kondisi tersebut bahkan hampir membuat saya gagal menyaksikan kelahiran anak pertama saya dan saya sungguh menyesalinya.”

Sejalan dengan kisah Lee, kondisi workaholic juga dirasakan salah satu youtuber game dengan lebih dari seratus juta subscribers, yakni Pewdiepie. Pada 16 Januari 2020, pria dengan nama asli Felix Arvid Ulf Kjellberg ini mengunggah sebuah video yang mengumumkan keputusannya untuk istirahat sejenak dari Youtube. Menurut pengakuannya sendiri, setelah sepuluh tahun terus-menerus mengunggah konten menarik, ia merasa sangat lelah sehingga membutuhkan waktu istirahat. Pengikut-pengikut Pewdiepie sendiri yakin idolanya sedang mengalami burnout. Hal ini turut didukung dengan banyaknya youtuber lain yang mengalami gangguan emosional serupa hingga akhirnya mengambil cuti, seperti Lilly Singh dan Ria Ricis. Melihat kondisi ini, sudah sewajarnya kita rehat sejenak di tengah kesibukan dengan refreshing dan menenangkan diri.

Berbagai motivasi mengajarkan kita agar terus-menerus berlaku produktif. Misalnya, tuntutan bagi mahasiswa untuk selalu belajar bahkan di luar jam pelajaran. Akan tetapi, semua hal yang kita lakukan tentu mempunyai suatu batasan. Kita harus tetap menyediakan waktu untuk beristirahat dan berkumpul bersama dengan orang-orang terdekat. Sebab pada akhirnya, kehidupan bukan sekadar keharusan untuk terus bekerja tiada henti bagai mesin, melainkan sebuah proses yang harus kita nikmati. Segala hal akan berjalan optimal dengan proporsi yang tepat, begitu pula dengan produktivitas.Memiliki pola hidup produktif sebagai seorang mahasiswa adalah suatu hal yang esensial. Akan tetapi, penting bagi Sobat untuk mengenal batasan dalam melakukan sesuatu. Nah, Sobat boleh saja bekerja atau mengikuti berbagai aktivitas yang ada. Namun, ingatlah hidup hanya sekali, jangan sampai produktivitas berlebihan berujung pada penyesalan Sobat!

About the author /