Mengulik Serba-serbi NFT

Illustrator: Eugenia Audrey

Mengulik Serba-serbi NFT

Oleh: Catherine Ivana

Derasnya arus tren Non-Fungible Token atau yang dikenal sebagai NFT disambut antusias di kalangan masyarakat, terutama pekerja seni. Meledaknya pasar NFT ini dipicu oleh faktor komersial di media sosial yang mengungkap pemberitaan tersebut. Alhasil, masyarakat berlomba-lomba untuk mengunggah hasil karya mereka untuk dijadikan NFT. Meski tidak dapat diuangkan, NFT dapat diperjualbelikan dengan nominal yang tak tanggung-tanggung. 

Dilansir dari laman The Cable News Network (CNN), NFT merupakan aset digital berbentuk karya seni maupun barang koleksi yang bisa dipergunakan untuk membeli sesuatu secara daring. Jenis karya maupun koleksi NFT termuat dalam berbagai sektor seperti seni, hobi, hiburan, dan bisnis. Berbeda dengan mata uang digital seperti bitcoin yang dapat ditukarkan dengan bitcoin lainnya, NFT mewakili aset digital yang tidak dapat ditukar maupun dihancurkan. Tidak hanya itu, aset NFT dapat dijual dengan mata uang crypto seperti bitcoin sebagai alat pembayaran.

Tidak dapat dimungkiri, popularitas NFT melambung tinggi pada awal tahun 2021. Dikutip dari data DappRadar, penjualan NFT mencapai 10,7 miliar dolar AS atau berkisar 152 triliun rupiah di seluruh dunia pada kuartal III. Angka ini melonjak tinggi dari 1,3 miliar dolar AS atau 18,5 triliun rupiah pada kuartal II dan 1,2 miliar dolar AS atau 17 triliun rupiah pada kuartal I. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) dan Chief Operations Officer (COO) dari Tokocrypto, Teguh Kurniawan Harmanda, tren NFT melejit sebab daya cipta serta daya beli masyarakat terhadap karya seni digital semakin meningkat. 

Kendati demikian, aset digital yang satu ini ternyata telah mendarat jauh sebelum itu. Pada 3 Mei 2014, Kevin McCoy mencetak token “quantum” jauh sebelum pasar seni crypto tersohor. Quantum sendiri adalah gambar piksel persegi delapan yang diisi dengan bangun datar melalui titik pusat yang sama. Berkat inovasi Kevin, keberadaan NFT sebagai ruang seni virtual semakin berkembang pesat hingga saat ini.

Fenomena NFT yang digadang-gadang sebagai arsip digital masa depan memiliki karakteristik yang autentik. Standardisasi NFT dengan atribut terperinci dari smart contract membuat setiap token dapat diverifikasi secara unik. Selain itu, token yang pengguna miliki tidak dapat ditukar atau digandakan. Tidak hanya itu, unsur eksklusivitas yang merupakan faktor primer token digital ini membuat NFT ramai digandrungi oleh masyarakat. 

Nyatanya, eksistensi NFT tidak hanya memberi keuntungan kepada sang pembeli saja. Di balik itu, token digital ini memberi manfaat yang lebih besar kepada pekerja seni. Pendiri Ganara, Tita Djumaryo dan Ranald Indra, memandang NFT sebagai pembuka kesempatan besar bagi pekerja seni untuk menyebarluaskan karyanya. Di dunia seni rupa, akses sering kali menjadi tantangan bagi seniman pendatang baru. Tantangan tersebut meliputi kesulitan dalam mendistribusikan karya seni serta gejolak ketidaksetaraan gender. Namun, melalui NFT, segala persoalan itu nyaris lenyap. 

Berjuta manfaat dapat ditemukan dengan berkarya melalui NFT. Manfaat pertama, NFT dapat berperan sebagai media bagi setiap pekerja seni untuk memiliki kesempatan yang sama dalam berkarya secara instan. Kedua, NFT memungkinkan pekerja seni dari daerah yang belum ternama agar dapat dikenal hingga mancanegara. Terakhir, NFT memudahkan pekerja seni untuk memperoleh hak cipta atas karya digital mereka. Dengan demikian, setiap pekerja seni dituntut untuk menghasilkan karya orisinil agar mampu bersaing secara sehat dengan pekerja seni lainnya.

Melihat maraknya insiden Ghozali Everyday yang mampu meraup uang miliaran rupiah dari penjualan swafoto dirinya di NFT, masyarakat pun berbondong-bondong mengikuti jejaknya. Ironisnya, pemahaman yang minim terkait NFT sebagai ruang kreasi digital berujung pada eksploitasi seni. Masyarakat yang tergiur dengan keuntungan miliaran rupiah, berlomba untuk mengunggah karya dalam NFT tanpa pengetahuan yang luas. Bahkan, mereka tidak memperhatikan nilai seni ketika mengunggah sebuah karya. Pernyataan ini ditunjang oleh fakta seperti foto kue lapis, pakaian, hingga Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dijual dalam bentuk digital.

Pakar metaverse dari Indonesia Digital Milenial Cooperatives (IDM Co-op), M. Chairul Basyar menegaskan, pemanfaatan NFT yang dilakukan masyarakat hampir melampaui batas. Basyar menerangkan, hal-hal yang dijual dalam bentuk NFT akan tersambung dalam teknologi blockchain. Blockchain sendiri merupakan sistem penyimpanan data secara digital. Lantas, smart contract yang terkandung dalam teknologi blockchain berperan sebagai keterangan bila NFT tersebut telah menjadi hak kekayaan intelektual sang pembeli. Hal ini kemudian dapat menjelma menjadi suatu malapetaka apabila sang pembeli menyalahgunakan foto tersebut.

Melihat penyalahgunaan momentum NFT yang masih gegabah, penting bagi pekerja seni untuk memahami esensi NFT sebagai masa depan arsip digital. Tips pertama adalah mempelajari sejumlah hal yang krusial sebelum menggeluti pasar NFT. Sebab, minimnya pemahaman akan esensi sesungguhnya dari NFT dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri. Kedua, memanfaatkan komunitas agar saling terhubung dengan pekerja seni lainnya yang sudah berpengalaman di dunia NFT. Ketiga, karya seni yang diunggah harus autentik dan eksklusif agar mampu bersaing secara sehat dengan pekerja seni lainnya. Oleh karena itu, karya seni dalam NFT akan sukses apabila memiliki nilai tambah yang ditawarkan kepada calon pembeli.

Keinginan masyarakat untuk memperjualbelikan karya seni digital melalui NFT semakin tinggi, seiring dengan adanya peluang pada pertumbuhan ekonomi kreatif dan digital. Kunci utamanya adalah memaksimalkan potensi arsip digital ini dengan tepat. Salah satu caranya, yaitu merespon tren transaksi NFT dengan bijak sehingga tidak memicu dampak negatif maupun pelanggaran hukum. Nah, Sobat GENTA juga harus meningkatkan literasi digital secara berkala agar semakin cakap dalam memanfaatkan NFT. Yuk, manfaatkan teknologi digital ini secara produktif dan kondusif!

About the author /