Kelahiran Karya yang Menyembuhkan Alam Raya

Fotografer: Misael Yosa

Kelahiran Karya yang Menyembuhkan Alam Raya

Oleh: Grace Michelle

Fesyen adalah segala sesuatu yang dikenakan pada tubuh dengan tujuan melindungi ataupun memperindah tubuh. Bagi sebagian orang, fesyen juga menjadi bentuk ekspresi diri melalui pakaian dan aksesoris yang digunakan. Sebab, hal ini dipercaya dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka. Di balik filosofi ini, industri fesyen memiliki sejarah yang panjang dan selalu berkembang mengikuti perubahan budaya, teknologi, dan sosial dalam masyarakat. 

Saat ini, fesyen telah menjadi sebuah tren berkelanjutan bagi penikmatnya sampai masyarakat umum. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan konsumen akan tren fesyen, industri fesyen juga mengalami perkembangan bisnis dengan menghasilkan fast fashion. Fast fashion sendiri merupakan sebuah model bisnis yang memproduksi produk fesyen dengan cepat dan murah, serta memperbaharui koleksi mereka setiap minggunya. Namun, pola konsumsi fast fashion yang tinggi rupanya dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Nyatanya, bahan kimia berbahaya yang digunakan dalam produksi fast fashion menyebabkan pencemaran air dan tanah. Tidak hanya itu, limbah garmen yang tidak dapat diolah turut menyumbang timbunan sampah.

Menilik hal tersebut, industri fesyen mulai mencari solusi untuk meminimalkan limbah yang dihasilkan. Salah satu solusinya dengan menerapkan konsep zero waste fashion yang bertujuan untuk mengurangi limbah dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Konsep zero waste fashion menempatkan prinsip desain, produksi, dan penggunaan ulang sebagai kunci utama. Perancang mode yang menerapkan konsep ini berusaha untuk menciptakan produk fesyen yang tahan lama. Produk fesyen ini pun diproduksi secara matang dengan cara menggunakan bahan ramah lingkungan maupun mendaur ulang bahan yang tidak terpakai.

Salah satu perancang mode yang menerapkan konsep zero waste fashion adalah Dibya Adipranata Hody, SE., MM.. Dibya merupakan seorang perancang busana sekaligus dosen Program Desain Fashion dan Tekstil (DFT) Petra Christian University (PCU). Ketertarikannya pada dunia fesyen lahir sejak kecil lantaran ibunya merupakan pemilik sebuah sekolah fesyen, yaitu Arva Fashion School. Secara tidak langsung, ia belajar mengenai industri fesyen secara otodidak melalui kesehariannya bersama sang Ibu, yakni Aryani Widagdo. Kendati demikian, berkuliah di jurusan manajemen tidak memudarkan kegemaran Dibya pada dunia fesyen. Sebab, setelah mengejar ilmu di Universitas Atma Jaya, ia kembali ke Surabaya untuk menggantikan sang Ibu dalam memimpin sekolah fesyen. 

Tak berhenti sampai di sana, Dibya pun memiliki mimpi untuk membangun merek fesyen miliknya sendiri. Tepat setelah sekolah yang ia jalankan diambil oleh investor, Dibya membangun bisnisnya pada tahun 2014. Tidak langsung meluncurkan produk zero waste, Dibya memulai dari batik modern. Alhasil, salah satu koleksinya berhasil memasuki runway pertama kali di Surabaya Fashion Parade tahun 2016. Tatkala itu, ia menampilkan karya batik Trenggalek dengan modifikasi yang bersifat modern. Karya tersebut dihasilkan melalui kerja sama dengan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Kemudian pada tahun 2015, Dibya berusaha membuat pola zero waste

Dibya menjelaskan, konsep zero waste bertujuan untuk mengurangi limbah produksi dengan memanfaatkan bahan pakaian secara maksimal. Salah satu keunggulan dari teknik zero waste adalah sistem produksinya yang ramah lingkungan dengan bahan serat alam yang digunakan. Sebagai contoh, dalam pembuatan pakaian seringkali terjadi pembuangan sebagian bahan kain sekitar 15-20%. Namun, melalui teknik zero waste, pembuangan bahan tersebut dapat diminimalkan sehingga hampir tidak terjadi pembuangan. Dengan menggunakan teknik ini, kain dipotong dan diatur sedemikian rupa sehingga semua kain terpakai dan tidak meninggalkan limbah kain. Menurutnya, metode ini menjadi ide yang brilian karena dapat memudahkan pemasaran pola zero waste dan pengrajin dalam menerapkan pola tersebut. Meskipun teknik pengerjaan pola zero waste tergolong mudah, dosen DFT PCU yang satu ini percaya, konsep ini membutuhkan pemikiran dan perencanaan yang matang agar kain dapat terpakai secara optimal. 

Selanjutnya, Dibya memaparkan, salah satu tantangan yang dihadapi dalam konsep zero waste fashion adalah kenyamanan. “Karena harus menggunakan seluruh bahan, pola yang dihasilkan mungkin tidak akan menjadi sefleksibel dan selaras dengan pola produksi konvensional,” ujarnya. Hal ini terjadi lantaran banyak pola yang dihasilkan pengrajin pakaian berbentuk kotak sehingga kurang cocok untuk bentuk tubuh manusia. Dengan demikian, diperlukan waktu dan riset yang tepat untuk menciptakan pola pakaian zero waste yang memberikan kenyamanan. 

Menyoroti masalah tersebut, perancang busana yang satu ini menambahkan teknik kupnat untuk meningkatkan kenyamanan pakaian. Teknik kupnat adalah lipatan pada pakaian, biasanya dijahit sepanjang pinggang untuk menyesuaikan pakaian dengan bentuk tubuh. Meskipun demikian, konsep zero waste nyatanya masih sukar untuk diterapkan pada jenis pakaian tertentu, terutama pakaian pesta. Karena itu, ia memfokuskan kariernya dengan memproduksi pakaian jenis outerwear, kemeja, rok, dan jumpsuit.

Pria kelahiran tahun 1973 tersebut terinspirasi untuk mengusung konsep zero waste setelah terjadinya tragedi bangunan pabrik di Bangladesh pada tahun 2013. Gedung yang dikelola oleh merek fesyen Eropa ini ambruk akibat kelebihan muatan. Naasnya, gedung yang semula memiliki lima lantai tersebut ditingkatkan menjadi delapan lantai tanpa memperhatikan keselamatan. Kejadian inilah yang memicu perubahan dalam dunia fesyen. Masyarakat menyadari kondisi buruh pabrik yang dibayar rendah dengan produk yang dijual dengan harga tinggi sungguh tidak adil. Akhirnya, banyak pihak yang berkutat dengan segala solusi untuk mengatasi permasalahan pahit tersebut. 

Perancang mode tanah air ini rupanya telah menciptakan sejumlah karya fesyen, mulai yang dijual hingga yang dipamerkan pada runway. Ia juga salah satu anggota asosiasi fashion Indonesia, yaitu Indonesia Fashion Chamber (IFC). Melalui asosiasi tersebut, ia dan perancang busana lainnya membuat sebuah brand bernama Dituai. Nama tersebut memiliki asal usul dari kiasan tabur tuai. Sebab, pekerjaan yang ia lakukan berupa menabur benih karya, yang akhirnya dituai oleh pembeli. Setelah membangun toko di Surabaya dan Bali, rencana inilah yang dituai dengan merambah ke ibukota, yakni Jakarta. Dalam koleksi selanjutnya, Dibya berencana untuk menggunakan enam motif batik khas Surabaya yang telah dipatenkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sebagai bahan dasar. Produk yang ia ciptakan juga memiliki keunggulan dalam pemakaian beragam jenis dan corak kain. Selain berprofesi sebagai perancang busana dan dosen, Dibya juga kerap mengadakan workshop dengan mengangkat konsep zero waste.

Tidak dapat dimungkiri, zero waste fashion memiliki potensi untuk berkembang lebih lanjut di era modern ini. Lantas, Dibya berharap dapat mengimplementasikan konsep ini pada berbagai bentuk pakaian. Melalui bisnisnya, ia berkomitmen untuk menciptakan produk fesyen yang ramah lingkungan di setiap tahap produksi. Dengan memprioritaskan berbagai nilai keberlanjutan, dosen DFT PCU yang satu ini berharap dapat memberikan kontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat.

Melalui perkembangan industri fesyen yang sangat pesat, dampak yang ditimbulkan semakin besar pula. Tak hanya membantu kemajuan ekonomi, industri fesyen juga mempengaruhi lingkungan hidup. Konsep zero waste fashion yang kian merebak di industri tekstil mampu meminimalisir limbah produksi pencemar lingkungan. Melalui pola potong yang telah dirancang sedemikian rupa, konsep yang satu ini dapat memanfaatkan bahan kain secara optimal. Metode inilah yang membuat zero waste fashion memiliki ciri khas tersendiri. Penerapan konsep zero waste fashion dapat berperan sebagai salah satu solusi segar guna mengurangi dampak negatif bagi alam. Jadi, apakah Sobat tertarik membeli produk zero waste?

About the author /