Gaslighting, Tunjukkan Kasih atau Kuasa?

Illustrator: Aurelia

Gaslighting, Tunjukkan Kasih atau Kuasa?

Oleh: Marcelino Albertus

Sebagai makhluk sosial, manusia tentu tak dapat lepas dari relasi dengan orang lain. Salah satu bentuk relasi tersebut berupa hubungan asmara. Dua insan berkomitmen untuk berjalan bersama dan saling mendukung ke arah yang lebih baik. Meskipun begitu, setiap hubungan pasti memiliki batasan. Ketika batasan tersebut dilanggar, salah satu akan dirugikan dan terjebak dalam hubungan tak sehat atau toxic relationship.

Pada tahun 2010, SeBAYA Pusat Informasi dan Pelayanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja (PKBI) Jawa Timur melakukan survei terhadap 100 remaja berusia 11-24 tahun mengenai hubungan tidak sehat. Hasil survei menunjukkan, dalam hubungan tidak sehat, 41% korban dibentak ketika berbeda pendapat, 33% dimarahi pasangan ketika menolak berciuman, dan 26% dibatasi aktif dalam kegiatan sosial. Rupanya, hal-hal tersebut termasuk dalam tindakan gaslighting. Namun, apa itu sebenarnya gaslighting?

Secara sederhana, gaslighting dapat diartikan sebagai manipulasi. Istilah tersebut berasal dari judul sebuah drama pada tahun 1938, “Gas Light”. Dalam drama itu, sang suami perlahan-lahan memanipulasi istrinya sehingga percaya mentalnya terganggu. Tindakan tersebutlah yang kemudian disebut sebagai gaslighting. Dalam situs Psychology Today, gaslighting didefinisikan sebagai bentuk manipulasi dan pencucian otak yang dilakukan oleh seseorang untuk membuat korban meragukan dirinya sendiri. Korban akan merasa kehilangan identitas, persepsi, dan kepercayaan diri.

Tindakan gaslighting dilakukan pelaku agar terlihat lebih berkuasa dan dapat mengontrol orang lain. Parahnya, ada kemungkinan korban tidak mengetahui jika perilaku gaslighting sedang menimpa dirinya. Untuk mewaspadai hal tersebut, ada beberapa ciri yang dapat menjadi alarm atau penanda apabila seseorang sedang mengalami gaslighting.

Pertama, pelaku sering melakukan kebohongan. Ia suka memutarbalikkan fakta sehingga terlihat selalu benar. Sebaliknya, ia akan selalu menyalahkan pasangannya. Akibat terburuknya, ketika sang pelaku berbuat salah, korban berpikir kesalahan tersebut adalah dampak dari perbuatannya sendiri. Hal ini sangat membunuh karakter korban.

Kedua, perasaan dan pemikiran korban selalu diabaikan. Dalam hubungan yang ideal, komunikasi berjalan secara dua arah. Ketika menghadapi sebuah persoalan, ada baiknya untuk bercerita kepada pasangan. Namun, hal ini tak dapat dilakukan oleh korban gaslighting. Pelaku akan cenderung meminta korban berhenti memikirkan perasaan dan masalah yang dialaminya. Mereka juga tak bisa mengungkapkan pemikiran atau pendiriannya dalam diskusi. Tidak hanya itu, korban pun diasingkan dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini dilakukan agar sang pelaku mendapat kendali penuh atas pikiran dan tindakan korban. Bahkan, pelaku akan memanipulasi korban dengan menggunakan rayuan agar mau mengikuti keinginannya. Akibatnya, korban kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Ketiga, pelaku menyerang kelemahan korban. Pelaku gaslighting akan memberikan kritik terhadap hal-hal yang ditakuti pasangannya. Contohnya, ia mengatakan, “Kamu lebih gendut ya sekarang.” Dengan begitu, harga diri korban akan jatuh dan pelaku terlihat lebih unggul serta benar.

Gaslighting dapat terjadi pada setiap orang tanpa terkecuali. Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan kepergian selebgram, Laura Anna. Semasa hidupnya, ia diketahui menderita cedera saraf tulang belakang akibat kecelakaan dengan mantan kekasihnya, Gaga Muhammad pada tahun 2019. Di tengah kelumpuhan Laura selama dua tahun, tidak ada iktikad baik dari Gaga maupun keluarganya untuk bertanggung jawab. “Dia (Gaga) bilang dia menjaga Laura dan seterusnya. Padahal kenyataannya, Laura-lah yang mengemis-ngemis agar Gaga menjaganya. Apakah itu yang dinamakan tanggung jawab?” ujar Greta Irene, kakak Laura, saat buka suara di kanal Youtube Deddy Corbuzier. Irene bahkan turut menceritakan, Laura sempat diminta uang oleh Gaga untuk membeli sepeda motor dan sarung tangan mewah.

Melihat dampak buruk gaslighting, penting bagi seseorang untuk memahami cara menghindarinya. Menurut seorang ahli komunikasi penulis buku “How to Successfully Handle Gaslighters & Stop Psychological Bullying”, Preston Ni, mengetahui hak-hak pribadi dapat menjadi langkah pertama menghindari gaslighting. Seseorang berhak untuk diperlakukan dengan hormat, mengungkapkan perasaan dan keinginan, menentukan prioritas pribadi, mengatakan tidak tanpa rasa bersalah, mendapat sesuatu yang telah dibayar, memiliki pendapat yang berbeda, melindungi diri, serta hidup bahagia dan sehat. Dengan mengetahui hal tersebut, seseorang dapat menyadari sekiranya ada hak mereka yang dilanggar.

Cara yang kedua adalah meneliti sikap seseorang. Kita perlu melihat apabila tindakan seseorang berbeda saat di depan kita dan di depan orang lain. Contohnya, ia bersikap ramah di hadapan beberapa orang tetapi kasar terhadap yang lainnya. Hal tersebut dapat menjadi salah satu ciri seorang gaslighter. Dengan mengetahuinya dari awal, kita bisa bersikap waspada.

Ketiga, pahami pentingnya self-love atau kasih akan diri sendiri. Menurut psikolog Felicia Maukar, M.Psi., salah satu bagian dari self-love adalah self-assertiveness. Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya, termasuk untuk mengatakan tidak kepada orang lain. Hal tersebut perlu dipahami sehingga dapat menjadi modal untuk terhindar dari gaslighting.

Menjalin hubungan sebagai pasangan merupakan masa yang indah dan menjadi impian banyak orang. Namun, semua keindahan akan sirna dengan adanya gaslighting. Hubungan yang semestinya menciptakan rasa aman malah menimbulkan rasa bersalah yang terus membekas. Ketika Sobat merasa relasi yang ada telah menjadi toxic dan tidak membangun, jangan takut untuk keluar dari hubungan itu, ya! Jika tidak, hubungan tersebut hanya akan membahayakan kesehatan mental Sobat. Jangan biarkan rasa sayang kepada orang lain membuatmu lupa akan betapa berharganya dirimu!

About the author /