Empati atau Toxic Positivity?

Illustrator : Nataszha Aurelvanka Surya Hadiwijono

Empati atau Toxic Positivity?

Oleh: Monica Angeline

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, tentu saja kita pernah mengalami keadaan yang kurang menyenangkan. Salah satu cara untuk menghibur diri adalah dengan menceritakan keluh kesah kita kepada orang terdekat. Entah sekadar untuk meluapkan emosi ataupun untuk mendapatkan saran dan nasihat. Namun, pernahkah Sobat GENTA menerima tanggapan seperti “Stay positive saja”, “Stop berpikir negatif”, ”Bersyukur kamu masih lebih beruntung daripada dia.” Tahukah Sobat, bahwa kalimat tersebut termasuk dalam toxic positivity? Sebenarnya toxic positivity itu apa sih?

Toxic sendiri merupakan terjemahan Bahasa Inggris “racun”. Sedangkan, positivity merupakan terjemahan Bahasa Inggris “kepositifan.” Jika digabungkan maka memiliki arti kepositifan yang beracun atau merusak. Mengutip dari Psychology Today, toxic positivity mengacu pada konsep, menjaga pikiran dan sikap tetap positif adalah cara yang tepat untuk menjalani hidup. Anda hanya fokus pada hal-hal positif dan menolak hal yang memicu emosi negatif. Padahal dalam studi psikologi, setiap emosi dan perasaan manusia memiliki arti dan makna tersendiri termasuk perasaan sedih, kecewa, marah, khawatir. Menurut dr. Jiemi Adrian, Sp. KJ.toxic positivity memiliki dasar berupa invalidasi terhadap emosi atau perasaan.

Toxic positivity akan muncul ketika kita terus menerus menyangkal perasaan ‘negatif’ dan memaksa diri sendiri untuk merasa bahagia. Banyak orang menilai, perasaan sedih dan khawatir adalah perasaan yang buruk. Faktanya semua perasaan tersebut menandakan, kita adalah manusia normal. Semua perasaan dan emosi yang kita rasakan merupakan reaksi alami yang diproses di otak oleh amigdala. Amigdala merupakan jaringan saraf yang terletak di temporal (sisi) lobus otak. Amigdala berfungsi atas persepsi emosi (marah, takut, sedih) serta agresi pengendali.

Tanpa disadari, kita cenderung memberikan tanggapan yang mengandung unsur toxic positivity. Misalnya ketika memberi saran kepada orang lain yang terlalu menekankan konsep positif dan bahagia. Ujaran dan nasihat positif kita ini dapat menjadi beban pikiran tersendiri bagi teman kita. Mungkin niat awalnya tidak buruk, kita pasti ingin selalu memberikan masukan yang terbaik bagi orang lain. Namun, alangkah lebih baik jika kita lebih berempati dan berusaha menempatkan diri kita di posisi orang tersebut. Individu yang menceritakan keterpurukan dan mengungkapkan emosinya akan lebih tenang apabila kita memvalidasi perasaan mereka daripada memaksa mereka untuk merasa bahagia. Validasi terhadap perasaan negatif dapat berupa kalimat seperti “Merasa sedih dalam keadaan seperti ini itu wajar”, ”Setiap perasaan yang kamu rasakan ini normal kok.”

Toxic positivity dapat mengganggu kesehatan mental kita apabila terjadi dalam jangka waktu yang lama. Melansir laman Roomper, menurut Jennifer Howard Ph.D., nasihat untuk selalu berpikir positif dan membaca buku motivasi setiap saat justru akan membuat seseorang merasa takut, sedih, sakit, dan kesepian. Terus mencoba untuk selalu berpikir positif secara tidak realistis justru akan menjadi racun dan terasa palsu.

Contoh fenomena toxic positivity dalam dunia perkuliahan adalah ketika kita sedih dan khawatir akan nilai ujian kita. Seringkali kita meluapkan perasaan gelisah dengan bercerita ke teman terdekat. Alih-alih mendapat kalimat yang menenangkan, kita malah mendapat respon seperti “Buat apa kamu capek-capek memikirkan ujian? Lebay banget, jangan overthinking lah. Jadilah orang yang positif dan jangan terlalu khawatir.” Ketika mendapat respon seperti ini, perasaan kita menjadi campur aduk dan bahkan merasa tidak ada orang yang mengerti apa yang sedang kita alami. Namun, bandingkan jika kita mendapat respon seperti “Iya, aku paham kamu khawatir dan takut, itu wajar kok. Tapi ingatlah kamu juga sudah berusaha semaksimal mungkin.” Menurut Sobat, respon mana yang lebih menenangkan dan membuat kita merasa lebih aman?

Sudah seharusnya kita lebih berempati terhadap perasaan orang lain. Ada kala kita memberikan telinga untuk teman yang sedang mengalami masa-masa sulit. Saat itulah kita dapat belajar berempati dan memutus rantai toxic positivity. Mulai dari menjadi pendengar yang baik, memvalidasi, dan menghargai perasaan sedih, memberi saran yang konstruktif serta tidak menyinggung. Kita perlu memahami, setiap orang memiliki daya tahan yang berbeda terhadap stres. Membandingkan dan menyamaratakan kondisi mental tiap individu bukanlah solusi yang tepat. 

Menghentikan toxic positivity bukan berarti kita menyebarkan suasana negatif secara terus menerus. Melainkan kita memvalidasi dan menerima akan munculnya suasana negatif. Segala sesuatu perlu keseimbangan, begitu pula dengan suasana positif dan negatif. Merasa sedih dan khawatir bukan berarti kita tidak bersyukur, kok.

Nah, Jika Sobat sedang merasa sedih dan gelisah, Sobat dapat mencari teman terdekat untuk meluapkan rasa sesak di dada. Sobat juga dapat berkomunikasi kepada orang yang lebih profesional seperti konselor atau psikiater jika kegelisahan yang dirasakan berlebihan. Jangan lupa untuk menjadi pendengar yang baik dan lebih berempati terhadap perasaan seseorang. Kalau bukan dari diri sendiri yang mulai, siapa lagi?

About the author /