UAS Kelas Servant Leader, Bawa Kisah Sekolah Marginal di Surabaya

Fotografer : Denalyn T. Istianto

UAS Kelas Servant Leader, Bawa Kisah Sekolah Marginal di Surabaya

Oleh: Denalyn T. Istianto

Halo, para pejuang UAS! Apa kabar UAS-nya, Sobat GENTA? Mungkin UAS kali ini “memberatkan” untuk Sobat. Yap, ujian kita kali ini dimulai setelah libur panjang. Sedikit berbeda dengan universitas-universitas tetangga yang sudah menyelesaikan tanggungan ujian sebelum liburan dimulai. Kalau Sobat GENTA termasuk orang yang aktif di media sosial, tentu sempat melihat story-gram unik yang beredar. “Libur mahasiswa dihantui UAS,” tutur unggahan tersebut. Ramai, banyak mahasiswa dari berbagai universitas termasuk Universitas Kristen (UK) Petra yang mengunggah ulang gambar tersebut dan menambahkan kalimat “sama, univ-ku juga!”

Ujian seringkali jadi momok buat mahasiswa. Serentetan paper, presentasi, maupun ujian tulis yang datang bertubi-tubi hampir selalu terasa berat. Tapi di sisi lain, mengutip kalimat yang sering dituturkan oleh Prof. Dr. Ir. Djwantoro Hardjito, M.Eng., hari ujian adalah hari merayakan kerja keras. Hei, para pejuang UAS, sudah merayakan hasil kerja keras kalian selama satu semester ini?

Inovasi bentuk UAS mata kuliah Servant Leader

Hal yang sama dilakukan oleh para mahasiswa kelas Servant Leader semester ini. Bedanya, UAS mereka tidak dalam bentuk tertulis, paper, maupun presentasi seperti UAS pada umumnya. 189 mahasiswa kelas Servant Leader bersama beberapa anggota Lembaga Kemahasiswaan – Keluarga Besar Mahasiswa (LK-KBM) turun ke 31 sekolah-sekolah marginal. Terdengar mudah karena tidak perlu menghafal materi atau mengerjakan paper? Tentu tidak, Sobat GENTA. Jarak sekolah-sekolah yang dikunjungi tidak bisa dibilang dekat dengan kampus. Sebagian besar sekolah-sekolah tersebut terletak di area-area terpencil, masuk gang-gang kecil yang bahkan tidak bisa dijangkau dengan mobil.

Kegiatan yang diprakarsai oleh Perdian K. Tumanan, S.T., M.Div. dengan eksekutor Tim Petra Sinergi ini memiliki titel “Mengajar Bagi Bangsa”.  Rangkaian kegiatannya sederhana. Mahasiswa mendatangi sekolah-sekolah marginal dan mengajarkan materi berupa penggunaan Google Earth. Selesai. Terdengar mudah? Mungkin. Tapi sekali lagi, tak segampang itu, Sobat GENTA! Meski kedengarannya seperti kegiatan pengabdian masyarakat, para pejuang UAS mata kuliah Servant Leader tidak mendapatkan Satuan Kredit Kegiatan Kemahasiswaan (SKKK) Pengabdian Masyarakat (Abdimas). Mahasiswa juga melakukan koordinasi mandiri dengan Yayasan Indonesia Sejahtera Barokah, yayasan non-profit yang membantu menghubungkan mahasiswa dengan sekolah-sekolah yang membutuhkan. Tak hanya itu, kegiatan dilakukan mulai 21 Mei hingga 5 Juni 2018. Hari-hari tersebut masih hari kuliah, sehingga para mahasiswa harus izin dari kelas mereka masing-masing.

Kunjungan ke SD Wonokusumo Jaya

Sekolah yang saya kunjungi kemarin terletak di Surabaya Utara. Menempuh perjalanan satu jam dengan mobil, kami masih perlu berjalan kaki memasuki gang-gang kecil sejauh beberapa ratus meter hingga mencapai sekolah tersebut.

Kecil dan tidak begitu rapi. Banyak bagian bangunan yang tidak tampak memadai.

Begitu kami melangkahkan kaki masuk, pekikan senang terdengar dari anak-anak yang tengah duduk-duduk di depan ruangan, mungkin ruang kelas. Kami disambut ramah oleh beberapa orang guru, yang menyilakan kami untuk langsung mempersiapkan diri untuk mengajar karena kemacetan menahan kami cukup lama di jalan.

Mengajari anak-anak sekolah dasar tentang aplikasi Google Earth rasanya asam manis. Mereka belum begitu terpapar teknologi. Begitu proyektor dinyalakan, mata mereka sudah terpaku pada layar yang mungkin baru pertama kali mereka lihat. Begitu layar menampakkan gambar 3 dimensi dari Jalan Wonokusumo Jaya – lokasi sekolah mereka berada, mereka langsung excited, meski sedang menjalankan ibadah puasa.

“Adik-adik, lewat sini kita bisa lihat Candi Borobudur, ‘lho!

“Ayo tebak, panjang jembatan Suramadu berapa? Nanti kalau adik-adik sudah besar dan jadi insinyur, bisa membangun jembatan seperti ini!”

Namun, mereka bahkan tidak familiar dengan profesi “insinyur”.

Kisah di balik keceriaan para siswa SD

Sariatun, S.Pd., Kepala Sekolah SD Wonokusumo Jaya mengakui ini pertama kali sekolahnya kedatangan mahasiswa. Melihat sesuatu di layar juga merupakan hal baru bagi anak-anak mereka. Para guru juga bercerita bahwa mereka menunjuk para mahasiswa sebagai teladan.

“Mau ‘kan, seperti kakak-kakak, kalau sudah mahasiswa. Sekolah yang tinggi, sekolah yang pinter. Kalau nggak pinter, nggak bisa datang ke sekolah-sekolah seperti mereka.”

Menurut pengamatan para guru, “kuliah” itu bukan sesuatu yang familiar buat para siswa SD seperti mereka.  Kuliah terasa seperti fiktif. Seringkali terjadi, siswa kelas 5 SD malas sekolah karena sudah mengenal pemasukan uang dari menjadi tukang di beberapa tempat. “Enak kerja, Bu, sudah bisa dapat uang!” kata mereka ketika dikejar guru dan orangtuanya untuk kembali ke sekolah.

Tidak menyalahkan siapapun. Dari segi kondisi, sekolah hingga ke jenjang yang tinggi mungkin bukan opsi untuk mereka. Uang sekolah selama ini gratis, buku-buku dan kebutuhan seperti susu dan buah didukung oleh Yayasan Indonesia Sejahtera Barokah bersama program mereka “Terang Surabaya”. Kebanyakan dari siswa berasal dari keluarga berekonomi rendah.

Kedatangan mahasiswa seperti membuka kembali mata mereka. Memahami pendidikan itu setinggi apa, dan sudah seharusnya mereka bermimpi tinggi.

Bagaimana dengan kita, para mahasiswa?

Mereka para pejuang pendidikan. Mulai dari gedung sekolah dengan ruang kelas yang tidak cukup hingga jam belajar harus digilir, hingga pikiran para siswa yang belum terbuka luas tentang pentingnya pendidikan. “Gaji guru mereka hanya berkisar antara 200 ribu hingga 750 ribu rupiah, tidak lebih,” terang Susan Chen, perwakilan Yayasan Indonesia Sejahtera Barokah pada GENTA. Tak jarang, yayasan non-profit ini memberikan outing untuk para siswa. Mengajak mereka berenang, jalan-jalan, memberikan kado jam tangan dan sepeda untuk memotivasi mereka bersekolah.

UAS mata kuliah Servant Leader diharapkan dapat memberikan pelajaran bagi mahasiswanya tentang realita keterbatasan dan minimnya pendidikan di luar sana. Menurut ketua kegiatan Yessica, para peserta kelas Servant Leader sudah cukup dibekali secara teori, namun tak semua punya wadah penerapannya. Karena itulah proyek ini diharapkan dapat mendorong mahasiswa terutama calon Asisten Tutorial (Astor, yang wajib mengikuti kelas ini –red) untuk belajar berdampak secara positif tak hanya di kampus, tapi juga ke lingkungan luar.

Bagaimana dengan kita, mahasiswa pejuang UAS? Kita dapat mengikuti UTS, UAS, dan ujian-ujian lainnya dengan begitu teratur. Mungkin ada baiknya jika kita memahami, kalau mengikuti UAS sebenarnya adalah sebuah luxury, which not everybody can afford. Semoga ujian yang sudah selesai, sukses semuanya, ya!

Tagged with:     , , , ,

About the author /


Post your comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *