Tren Urbanisasi Naik, Potensi Desa Ditampik

Penulis: Levina Angelica

Illustrator: Aurelia Fransiska

Urbanisasi merupakan konsekuensi logis perubahan struktural ekonomi akibat masifnya pembangunan infrastruktur kota (Joga, 2022).

Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, urbanisasi diartikan sebagai suatu proses kenaikan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sementara itu, Kompas Media mendefinisikan urbanisasi sebagai proses “menjadi kota” yang dipengaruhi oleh elemen fisik, mental, sosial, ekonomi, dan adat istiadat penduduknya.

Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa urbanisasi merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai faktor. Tetapi, meskipun urbanisasi kerap dibicarakan sebagai sumber dari berbagai kesulitan kehidupan kota, faktor pendorong di balik fenomena tersebut masih jarang dibicarakan. Padahal, urbanisasi terjadi karena adanya sederet alasan bagi penduduk desa untuk melakukan perpindahan ke kota. 

Salah satu faktor pendorong tersebut dapat diamati dalam disparitas kualitas pendidikan antara wilayah kota dan desa. Keberadaan institusi sekolah dan perguruan tinggi yang mutunya dianggap lebih baik di perkotaan acapkali menjadi motif bagi urbanisan untuk pindah demi menjamin akses pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Bahkan, tak jarang bagi institusi perguruan tinggi untuk menjadi sarang penampung yang menarik kaum urbanisan berusia muda untuk pindah dan kemudian menetap jauh dari kampung halamannya.

Rendahnya familiaritas akan faktor-faktor pendorong urbanisasi kerap berakibat pada kekeliruan dalam penanganannya. Meski sudah digulirkan banyak kebijakan untuk menekan angka kaum urbanisan, persoalan urbanisasi masif tampaknya tidak kunjung beres. Lantas, apa penyebab dari maraknya tren urbanisasi ini? Apa saja dampaknya bagi penduduk desa dan kota dan bagaimana respon pemerintah dan institusi perguruan tinggi?

Urbanisasi “Pemicu” Kemiskinan?

Kesenjangan sosial di kota sudah bukan lagi menjadi topik yang asing. Kota-kota besar yang sekarang saja sudah padat penduduknya tentu akan menjadi semakin padat lagi akibat arus urbanisasi.

Angka kemiskinan di daerah perkotaan cenderung membengkak bersama dengan perpindahan penduduk ke kota. Misalnya, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat kenaikan penduduk miskin di area perkotaan Banten sejalan dengan arus urbanisasi pasca liburan tahun baru. BPS mencatat, penduduk miskin di perkotaan Banten pada Maret 2023 sebesar 6,00 persen atau 623,190 orang, naik dari 5,89 persen atau 586,210 orang pada September 2022 (Ridho, 2023).

Naiknya persentase kemiskinan ini juga berkorelasi dengan masalah umum lainnya, seperti  kriminalitas, polusi, dan kemacetan. Hal ini diperparah dengan kurangnya edukasi dan profesionalisme kaum urbanisan.

Selain itu, tingginya biaya hidup di kota ikut mempersulit kaum urbanisan untuk mencapai taraf hidup yang memadai. Terbatasnya jumlah hunian yang tersedia mengakibatkan peningkatan harga properti, sehingga tidak semua individu mampu membeli rumah. Keterbatasan ini memaksa kaum urbanisan yang kurang beruntung untuk tinggal di rumah bedeng sempit di daerah kumuh yang tidak memiliki izin pembangunan.

Sempitnya peluang untuk dapat berintegrasi dalam kehidupan perkotaan tersebut banyak mendorong kaum urbanisan untuk mengubur dalam-dalam mimpi hidup di kota besar. Tetap saja, sebagian lebih memilih mengadu nasib ketimbang pulang ke tanah kelahirannya dengan tangan kosong (Wiyoga, 2018). Selain faktor kebutuhan, kemajuan zaman juga mendorong terjadinya perubahan pada pola pikir masyarakat. Banyak yang terlena dengan kehidupan metropolitan yang megah dan ingin mencari gaya dan taraf hidup yang lebih bergengsi di kota besar. Apalagi, banyak kaum urbanisan yang merasa akan dianggap sebagai orang gagal apabila kembali pulang ke kampung halaman setelah berangkat merantau. 

Faktor Utama Penyulut Urbanisasi

Pertumbuhan ekonomi yang hanya terpusat di kawasan perkotaan besar menjadi magnet bagi penduduk desa untuk berduyun-duyun datang mencari lapangan pekerjaan (Harahap, 2013). Ketimpangan ini didorong oleh tren perkembangan ekonomi nasional dari ekonomi agrikultur menjadi industrialis. Menanggapi perkembangan tersebut, masyarakat desa pun terdorong untuk mengubah profesinya dan mencari peluang pekerjaan baru di perkotaan.

Selain itu, kurangnya pemerataan pembangunan infrastruktur juga menjadi faktor pendorong urbanisasi. Kehidupan metropolitan menyediakan fasilitas transportasi, pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan, dan bahkan hiburan dengan kualitas yang jauh lebih baik dan mudah diakses. 

Dalam bidang pendidikan, hal ini dapat diamati melalui jumlah mahasiswa baru di setiap daerah. Menurut dokumen statistik pendidikan tinggi yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di tahun 2020, jumlah mahasiswa baru cenderung tinggi di wilayah-wilayah padat penduduk yang kerap menjadi tujuan urbanisasi, seperti pulau Jawa, provinsi Sulawesi Selatan, serta Sumatera Utara. Sementara jumlah mahasiswa baru di provinsi yang didominasi wilayah rural seperti Kalimantan Utara, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Kepulauan Bangka Belitung masih berada di bawah rata-rata kelompok kepulauannya.

Statistik ini semakin mengkhawatirkan ketika kita mempertimbangkannya dalam konteks jumlah penduduk tiap daerah. Misalnya, Kepulauan Bangka Belitung memiliki 2/5 jumlah penduduk dibandingkan Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi jumlah mahasiswa barunya hanya 1/30 dari jumlah penduduk di Yogyakarta (Handini, 2020).

Di sisi lain, perkembangan desa sendiri juga terhambat oleh langkanya sumber daya manusia di wilayah rural, terutama mereka yang masih dalam usia produktif. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penduduk desa yang terdorong untuk merantau ke kota, termasuk akibat disparitas akses pendidikan. 

Menurut Prof. Dr. Juliana Anggono, S.T., M.Sc. selaku Wakil Rektor Bidang Akademik, minimnya pengetahuan wilayah rural tentang pendidikan tinggi, menjadikan alumni perguruan tinggi kota yang mulanya ingin kembali ke kampung halamannya untuk memajukan desanya, merasa tidak diberikan penghargaan yang layak. Alhasil, derasnya arus urbanisasi juga menciptakan lebih banyak alasan untuk mendorong masyarakat untuk berbondong-bondong pindah ke kota. 

Padahal apabila ditilik lebih dalam, kawasan rural menyimpan banyak lahan-lahan potensial yang masih “tidur” karena kurang dikelola. Faktanya, menurut data dari Kementerian Pertanian, potensi lahan di Indonesia yang dimanfaatkan untuk pertanian di tahun 2015 baru sekitar 58,4 persen saja (Lahan Marginal Menyimpan Potensi Menunjang Ketahanan Pangan, 2018).

Andil Pemerintah Dalam Kontrol Urbanisasi

Akhir-akhir ini pemerintah telah menyadari pentingnya pemerataan pembangunan di daerah pedesaan. Dipupuk dengan dukungan infrastruktur, negara telah mengambil langkah untuk memperbaiki kesenjangan antarwilayah agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan tanpa perlu melakukan urbanisasi.

Ditinjau dari aspek sumber daya manusianya, tidak jarang pula pemerintah mendatangkan pihak penyuluh untuk menyampaikan berbagai bentuk dan model pemberdayaan seperti sosialisasi, pelatihan dan penyuluhan atau pendampingan (Ahmar, et al., 2016, 134). Pemberian dukungan sarana pendidikan ini merupakan salah satu strategi untuk menekan angka urbanisasi. Harapannya, peningkatan kualitas sumber daya manusia di wilayah pedesaan dapat menjadi pemicu terbukanya berbagai lapangan pekerjaan baru yang sesuai dengan kondisi lingkungan pedesaan.

Perguruan tinggi pun memiliki peran penting dalam memerangi kesenjangan rural-urban. Abdul Halim Iskandar selaku Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) menyuarakan pentingnya peran perguruan tinggi membersamai desa dalam meningkatkan kualitas SDM dan menggerakkan ekonomi desa untuk tumbuh merata serta menjamin kelestarian budaya lokal desa (Hendriyana, 2021)

Institusi perguruan tinggi dapat mencapai hal ini dengan memberikan program edukasi jarak jauh atau membuka cabang perguruan tinggi di daerah pedesaan. Mereka juga memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan wilayah pedesaan, seperti melalui pemenuhan pilar ketiga tri dharma perguruan tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat. 

Selaras dengan hal ini, Petra Christian University (PCU) turut ambil bagian dalam mengendalikan laju urbanisasi dengan pelbagai kegiatan pengabdian masyarakat. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai implementasi praktis dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Membaca situasi terkini dimana milenial mulai meninggalkan desa, mahasiswa PCU menggandeng wilayah rural untuk percepat revitalisasi desa. Daerah yang mulanya belum menonjolkan keunggulan wilayahnya, kini menjadi desa wisata dengan banyak spot instagrammable. Infrastruktur potensial yang masih belum dikembangkan secara maksimal, kini sudah mulai mengalami pertumbuhan ekonomi

Selain itu, ada pula kebijakan-kebijakan yang ditegakkan PCU dalam rangka menekan arus urbanisasi. Contohnya dengan pemberian beasiswa Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta beasiswa untuk fakultas mendatang, Fakultas Kedokteran. Alumni Fakultas Kedokteran, diharapkan dapat kembali ke daerahnya masing-masing untuk merintis dan memajukan wilayahnya.

Seperti banyak tren sosial lainnya, fenomena urbanisasi adalah akibat langsung dari realita sosial yang ada di negeri ini. Ketimpangan infrastruktur urban dan rural otomatis mendorong perpindahan masyarakat untuk “menjadi kota”. Apalagi, kini urbanisasi tidak hanya dilakukan demi sesuap nasi, namun juga faktor gengsi. Mempertimbangkan seluruh faktor pendorong tersebut, dapat disimpulkan bahwa peningkatan citra dan taraf kehidupan rural adalah kunci terkendalinya urbanisasi masif serta deretan dampak negatifnya bagi penduduk kota dan desa. 

Daftar Pustaka

Ahmar, et al. (2016, Agustus). Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Petani Padi di Desa Parumpanai Kecamatan Wasuponda Kabupaten Luwu Timur. Jurnal Administrasi Publik, 2(2), 134.

Apakah Benar Urbanisasi Adalah Perpindahan Penduduk dari Desa ke Kota? (2022, Juli 28) https://perkim.id/perkotaan/apakah-benar-urbanisasi-adalah-perpindahan-penduduk-dari-desa-ke-kota/. Diakses pada 10 Oktober 2023.

Handini, D., et al. (2020) Statistik Pendidikan Tinggi. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Harahap, F. R. (2013). Dampak Urbanisasi Bagi Perkembangan Kota di Indonesia. Jurnal Society, 1(1), 35.https://doi.org/10.33019/society.v1i1.40 .

Joga, N. (2022, May 8) Sihir Urbanisasi Berkelanjutan. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/05/sihir-urbanisasi-berkelanjutan . Diakses pada 10 Oktober 2023.

Lahan Marginal Menyimpan Potensi Menunjang Ketahanan Pangan (2018, April 16). PT. Petrokimia Gresik. https://petrokimia-gresik.com/news/lahan-marginal-menyimpan-potensi-menunjang-ketahanan-pangan . Diakses pada 11 Oktober 2023.

Hendriyana, A (2021, Oktober 14). Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar: Perguruan Tinggi Berperan Membangun Desa. Universitas Padjadjaran. https://www.unpad.ac.id/2021/10/mendes-pdtt-abdul-halim-iskandar-perguruan-tinggi-berperan-membangun-desa/ . Diakses pada 24 Oktober 2023.

Ridho, R. (2023, Juli 18). Kemiskinan Perkotaan Meningkat, Pj Gubernur Banten Salahkan Urbanisasi. KOMPAS.com. https://www.kompas.com/ . Diakses pada 20 Oktober 2023.

Wiyoga, P. (2018, Juni 18). Urbanisasi demi Nasi dan Gengsi. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/utama/2018/06/18/urbanisasi-demi-nasi-dan-gengsi . Diakses pada 10 Oktober 2023.

About the author /