Ilustrator: Justyn Theodore Tio
Suka Duka di Rumah Aja
Oleh: Hansel Davin Sugiarto
#dirumahaja menjadi hashtag yang mendadak populer di tanah air, akibat dari penyebaran virus COVID-19 yang menyerang di berbagai penjuru dunia. Penyebaran yang terjadi dengan sangat cepat dan luas ini mengharuskan pemerintah berbondong-bondong mengupayakan berbagai cara untuk menghentikan penyebaran pandemivirus COVID-19 ini. Salah satu instruksi dari pemerintah Indonesia yang diberlakukan ialah physical distancing. Apa sih physical distancing itu?
Bermula dari penamaan social distancing (sekarang physical distancing) yang diberi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), merupakan arahan kepada publik untuk memberi jarak setidaknya 1-3 meter antara diri kita dengan orang lain yang sedang sakit. Mengapa kita harus melakukan physical distancing? Ketika mereka sedang batuk atau bersin, mereka dapat mengeluarkan cairan yang dapat mengandung virus di dalamnya, termasuk COVID-19 jika mereka telah terpapar. Apabila virus ini terhirup dan masuk ke dalam tubuh, kita juga akan dengan mudah tertular.
Di Indonesia sendiri, tercatat pada Senin (20/4/2020) sebanyak 6.750 jiwa telah dikonfirmasi terpapar COVID-19, dimana 590 jiwa meninggal, dan 747 jiwa yang telah dinyatakan sembuh. Ini merupakan peningkatan yang sangat tajam, mengingat Senin (2/3/2020) Jokowi baru saja mengumumkan bahwa terdapat 2 WNI yang positif COVID-19.
Physical distancing inilah yang akhirnya diberlakukan oleh pemerintah daerah, kantor-kantor dan pabrik kepada para pegawai untuk Work from Home (WFH), berdasarkan instruksi dari pemerintah pusat. Lembaga pendidikan akhirnya juga mengikuti instruksi ini dengan memberlakukan para muridnya untuk belajar dari rumah secara daring.
Instruksi ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, termasuk para mahasiswa dan pengajar. “Lebih santai, waktunya lebih banyak, tidak perlu bangun awal-awal untuk otw,” ujar Sheron Leviany Dusia, mahasiswi Program Manajemen Keuangan Universitas Kristen (UK) Petra. “Tapi lebih susah untuk berkomunikasi sama dosen. Biasanya bisa langsung tanya, tapi sekarang harus e-mail atau chat di media sosial. Itupun kalau mau tanya, kadang ada yang fast response ada yang slow response.” Sheron juga mengatakan bahwa bertanya kepada dosen menjadi takut apabila pertanyaan yang diberikan menurutnya terlalu banyak. “Juga kalau mau tanya dosen banyak-banyak jadi takut, soalnya ada yang marah kalau tanya kebanyakan. Mungkin terganggu. Terus sama koneksi internet juga, ya mengetahui kondisi internet Indonesia seperti apa,” jelas Sheron.
Selain Sheron, Philbertha Phedra, mahasiswi Program Studi (Prodi) Teknik Industri UK Petra juga mengeluhkan hal yang sama. Koneksi internet yang terkadang lambat berakibat sulitnya mahasiswa untuk menangkap materi yang dijelaskan oleh dosen.
Rintangan-rintangan ternyata juga dihadapi oleh dosen. Dosen dituntut untuk cepat beradaptasi dengan situasi. Salah satu dosen dari Fakultas Teknik Sipil dan Perancangan (FTSP) UK Petra, Agie Vianthi, M. S., mengatakan bahwa dosen harus dengan cepat mencari platform yang dapat memenuhi kebutuhan dalam mengajar. Menurutnya, ini menjadi tantangan karena pertama kalinya situasi seperti ini terjadi, sehingga dosen harus bergerak cepat untuk dapat segera mengajar mahasiswa kembali. “Karena untuk memperlancar koneksi internet, biasanya mahasiswa dan saya pun juga menyarankan untuk mematikan video masing-masing”, kata Agie. “Jadi saat menjelaskan, saya tidak bisa face to face untuk memastikan apakah mahasiswa cukup paham dengan materi yang saya jelaskan.”
Rintangan tidak hanya berhenti sampai disitu. Sering kali, dosen juga disulitkan dengan bagaimana mereka menulis dan menunjukkan kepada mahasiswa materi yang mereka berikan. Dosen akhirnya mencoba berbagai cara dalam menyampaikan materi ke mahasiswanya. Contohnya, Njo Anastasia, S.E., M.T., CFP, dosen manajemen keuangan UK Petra. Beliau menerangkan bahwa dalam mengajar, dia tetap menggunakan papan tulis yang ada di rumahnya dengan mengarahkan kamera menghadap ke papan tulis. Dengan begitu, dia dapat menjelaskan seperti nuansa di dalam kelas. Namun, hal tersebut tetap ada batasannya. Batasan-batasan tersebut Anas siasati dengan memberi mahasiswanya rekaman dari pertemuan online, yang nantinya akan di bagikan kepada para mahasiswa, serta dengan memberi tugas.
Mungkin banyak Sobat GENTA yang berpikir sampai di sini, “Ah, dosen ini senang mempersulit muridnya dengan memberi banyak tugas yang hanya merepotkan. Tenggat waktu yang diberikan juga sangat dekat dengan mata kuliah satu dengan yang lain. Ini kan juga membuat kita para mahasiswa stres dan akhirnya menjadi tidak bisa fokus belajar apabila terlalu capek.” Eits, tunggu dulu Sobat. Itu hanya pemikiran dari satu sisi saja, yaitu dari mahasiswa. Namun, bagaimana dari sisi dosen ketika mendengar pernyataan ini?
Agie mengatakan, setiap dosen memiliki caranya sendiri untuk menilai kompetensi mahasiswa pada masing-masing mata kuliah. Namun, dari Agie sendiri, ia belum pernah memberikan tambahan tugas di setiap mata kuliah yang ia ajar, kecuali untuk pengganti nilai ujian. “Menurut saya, harapan dari para dosen memberikan tugas adalah agar mahasiswa belajar lewat pengerjaan tugas-tugas tersebut. Kalaupun dirasa waktunya kurang, mungkin bisa didiskusikan dengan dosen masing-masing.”
Selain Agie, Anas berpendapat, tugas yang diberikan oleh dosen seharusnya sudah diperhitungkan oleh dosen mata kuliah masing-masing. Dirinya juga mengatakan, ia tetap berpacu pada kontrak kuliah yang sudah diberikan pada tatap muka pertama yang telah disetujui oleh pihak dosen dan pihak mahasiswa. “Malah biasanya saya tekankan deadline-nya, bahwa tugas-tugas besar dikumpulkan waktu UTS dan UAS.” Anas malah sering mendapati mahasiswa meminta tugas untuk menambah nilai mereka.
Gabrielle Sharen Sunjono Gunawan, mahasiswi Program Manajemen Keuangan UK Petra, berpendapat, “Bisa lebih santai, tapi lebih gak fokus. Tugas jadi lebih banyak. Suara dosen cenderung gak kedengeran, dan neranginnya yang terlalu cepat.” Ketika ditanya tentang masalah ini, Gabrielle menilai bahwa waktu pengerjaan Ujian Tengah Semester (UTS) yang sangat kurang, juga karena tugas-tugas yang banyak juga ikut mempengaruhi. “Dukanya waktu UTS yang waktu pengerjaannya sangat kurang, banyak tugas. Susah mengerti pikiran dosen, jadi tidak tahu benar atau tidaknya dalam mengerjakan tugas. Waktu ujian jadi makin sedikit dengan soal yang susah.”
Namun, di balik semua hambatan yang dihadapi, tentunya WFH ini juga terdapat kelebihan dan membawa kesukaan bagi beberapa orang. Ketika ditanya apa keuntungan dari belajar di rumah, “Kerjasama dengan teman semakin erat dan harmonis”, tutur Benedicta Nia, mahasiswi Program Manajemen Keuangan UK Petra. “Enak juga, gak perlu nunggu jam kelas lagi sama gak ada duka-nya hehe,” imbuhnya.
Selain Nia, Philbertha juga merasakan sisi positif dari WFH ini. “Tidak perlu bangun pagi-pagi, tidak menunggu pulang lama-lama di kos teman, dan juga lebih bisa berkomunikasi banyak dengan keluarga,” ucapnya. Ia juga bisa mendengarkan penjelasan dari dosen dengan suasana yang ia sukai, misalnya dengan makan makanan ringan.
Walaupun memiliki keterbatasan dan kekurangan, Anas tidak lupa berpesan kepada mahasiswa, agar situasi ini dapat cepat membaik, sehingga bisa bertemu kembali. Diusahakan juga untuk tetap menjaga kesehatan. Anas berpesan, “Ambil positifnya, manusia harus mau berubah. Ini menjadi pembelajaran agar kita harus siap dengan segala sesuatu.”
Agie juga berpesan, “Saya sangat mengapresiasi semangat para mahasiswa yang masih mau berusaha untuk fokus belajar melalui perkuliahan online. Saya harap mahasiswa tetap dapat mempertahankan semangat belajar selama masa perkuliahan online ini, sehingga tetap dapat memahami materi yang diberikan.”
Selain itu, Agie juga menyinggung mengenai ujian yang harusnya dikerjakan secara mandiri. “Selain itu, saya berharap mahasiswa dapat mengerjakan ujian secara mandiri. Nilai yang baik memang penting sebagai seorang mahasiswa. Tapi, bukankah pemahaman yang baik terhadap suatu mata kuliah akan menghasilkan nilai yang baik juga?” tuturnya. “Jadi, para mahasiswa, ayo tetap utamakan integritas yang baik dalam mengerjakan ujian dan tugas yang ada. Saya percaya UK Petra sangat ingin setiap lulusan memegang nilai-nilai Kristiani dan memiliki integritas yang baik,” imbuhnya.
Jadi, tetap semangat dan tetap di rumah aja, ya Sobat GENTA! Utamakan nilai-nilai Kristiani dan integritas yang telah ditanamkan pada diri kita selama ini dalam menjalani pekerjaan dan perkuliahan dari rumah. Serta jangan lupa, untuk selalu menjaga kebersihan dan kesehatan diri, ya Sobat! Dengan begitu, kita akan memberi peran besar bagi negara kita dalam pemutusan rantai penyebaran COVID-19 ini.