Rambat Tangkai Generasi Stroberi

Ilustrator: Nathalina

Rambat Tangkai Generasi Stroberi

Oleh: Audie Ferrell

Persepsi inferioritas kawula muda tentunya bukanlah hal asing lagi bagi Sobat GENTA. Layaknya buah stroberi yang mudah memar, generasi muda masa kini kerap dipandang rapuh dan lemah dalam menghadapi tantangan. Dalam bukunya yang berjudul “Strawberry Generation”, guru besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, yaitu Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., mendefinisikan generasi stroberi sebagai generasi yang penuh dengan gagasan kreatif, tetapi mudah menyerah dan sakit hati. Generasi ini juga dikatakan menuntut jalan pintas dan berbagai kemudahan dalam menghadapi perubahan yang mereka inginkan. 

Istilah generasi stroberi sendiri pertama kali muncul di sela-sela kolom opini media koran di Republik Tiongkok tahun 2000-an, sembari anak muda kelahiran 1980-an perlahan memasuki dunia pekerjaan. “Mereka tumbuh besar dalam lingkungan yang terbebas dari perang dan persekusi politik. Dengan akses yang lebih mudah terhadap informasi, generasi ini lebih leluasa meninggalkan tradisi dan menganggap pendidikan serta kemerdekaan sebagai hal yang lumrah,” ujar seorang kolumnis Taiwan News. Selain itu, ada pula kekhawatiran spesifik terkait mental semu yang dimiliki oleh generasi stroberi. Dalam meliput tragedi gelombang panas yang memakan banyak korban jiwa di daerah pedesaan pada tahun 2007 silam, The Taipei Times berkomentar, “Bagaimana negara ini akan bertahan dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan? Karena pemuda ‘generasi stroberi’ yang hidup mudah dan berpendidikan tinggi tampaknya enggan bekerja di antara lumpur dan lalat.”

Namun, apakah benar predikat generasi stroberi tersebut layak disematkan terhadap kaum milenial dan generasi Z? Apakah postulat ini benar berdasarkan fakta, atau sebatas peranakan pop-psikografi yang tak ada dasarnya? Apakah benar mereka yang muda cenderung manja egois nan lesu, atau pandangan ini semata-mata buah konflik antargenerasi yang tak kunjung selesai?

Di satu sisi, data menunjukkan generasi muda memang terpuruk dalam metrik tertentu. Hasil survei oleh Alvara Research Center yang melibatkan 1.529 responden dari 34 provinsi Indonesia menemukan, tingkat kecemasan generasi muda lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Tercatat sejumlah 28,3 persen responden generasi Z dan 28,1 persen responden milenial mengaku mengalami rasa cemas. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan 21,3 persen responden generasi X yang mengaku sama. Sekilas, temuan ini tampaknya mendukung konsepsi generasi stroberi sebagai kaum pencemas yang sedikit-sedikit butuh healing

Karakteristik ini dapat diatribusikan terhadap keunikan pola asuh dan lingkungan tumbuh generasi Z dan milenial. Keadaan ekonomi dunia yang mengalami peningkatan pesat di tahun 80-an dan 90-an membuat banyak keluarga semakin mampu memanjakan anaknya. Selain itu, meningkatnya kewaspadaan mengenai bahaya terhadap anak juga membuat orang tua segan membiarkan anaknya keluar dari pengawasan. Hasilnya, fenomena yang biasa disebut helicopter parenting, dimana orang tua mengawal seluruh aspek kehidupan anak di luar batas wajar, layaknya helikopter yang selalu terbang dekat mengintai. Perlindungan berlebihan dari kesulitan ini justru menghilangkan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kemandirian. Riset garapan delapan peneliti dari University of Mary Washington yang terbit di Journal of Child and Family Studies menemukan korelasi antara helicopter parenting dengan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi.

Tidak dapat dimungkiri, situasi unik ini juga membekali generasi stroberi dengan berbagai kelebihan. Kegamblangan generasi milenial dan Z dalam merundingkan beban psikologis dapat menjadi katalis pengikisan stigma terhadap isu kesehatan mental. Tak berhenti disitu, generasi Z juga menjadi pendorong perubahan paradigma yang paling aktif dalam memperjuangkan kerja sama internasional, perlindungan alam, dan representasi politik. Mengutip hasil survei The Changing Childhood Project yang diadakan oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF), generasi muda sangat paham dengan tantangan zaman dan lebih siap menjiwai berbagai nilai abad ke-21 dibandingkan generasi sebelumnya.

Misalnya saja, ada sosok Melati dan Isabel Wijsen yang sukses berkampanye memerangi sampah plastik melalui gerakan Bye Bye Plastic Bags (BBPB). Setelah lebih dari setengah dekade berkampanye, gerakan cetusan kakak-beradik asal Bali tersebut sukses mendorong pemerintah provinsi tersebut untuk melarang penggunaan plastik sekali pakai. Kini, organisasi BBPB terdiri atas lebih dari 50 tim yang aktif memperjuangkan bebas plastik di berbagai negara.

Satu lagi karakteristik unik generasi muda adalah akses internet yang tersedia luas sejak mereka masih berusia dini. Kemampuan berselancar mencari informasi secara mandiri di dunia maya adalah modal penting untuk menjadi insan kreatif. Keinginan mencari jalan pintas yang dipandang sebagai kemalasan justru dapat menjadi motivasi untuk berinovasi menggagas berbagai hal baru. Mulai dari aplikasi konsep gamification dan teknologi Virtual Reality (VR) di bidang pendidikan, hingga ajang adu kreativitas publik macam Citayam Fashion Week, daftar ide baru yang datang dari generasi muda sejatinya cukup panjang.

Persepsi keburukan generasi muda yang hanya berasal dari perbedaan paradigma adalah pohon perenial yang tak kunjung layu dari zaman ke zaman. Mungkin julukan generasi stroberi hanyalah guguran terbaru fenomena perundungan pemuda. Namun, hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk enggan berjuang mengukuhkan diri di depan kesulitan ya, Sobat! Mampu memahami keunikan diri sendiri dan mengubahnya menjadi kekuatan adalah kunci sukses dalam menghadapi tantangan zaman. Stroberi yang mudah memar pun tetap dapat menjadi bibit tanaman rindai yang lebat berbuah. Maka dari itu, Sobat harus terus bersemangat berproses merealisasikan diri melalui suka dan duka!

About the author /