Pendidikan Seks Tabu, Masa Depan Kelabu

Penulis: Fransiska Felicia

Ilustrator: Jennyfer Angelyn

Meningkatnya kasus pelecehan dan kekerasan seksual kerap mengisi headline berbagai laman berita. Berdasarkan data yang dirilis oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) pada tahun 2022, kasus kekerasan seksual menempati posisi teratas dari seluruh bentuk laporan kekerasan dengan 11.016 laporan. Setiap tahunnya, persentase kasus juga tidak mengalami pengurangan secara signifikan maupun bertahap seperti yang diharapkan (Santika, 2023).

Maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual juga diperparah dengan kemajuan teknologi yang semakin mutakhir. Heru Purnomo, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengaku pernah menemukan satu kasus pelecehan seksual yang menyasar 36 anak secara daring. Ia menerangkan, bahwa modus pelaku adalah dengan membuat grup WhatsApp yang kemudian digunakan sebagai sarana pertukaran konten pornografi dengan korban yang rata-rata berusia sekitar 12 tahun. Pelaku kemudian melakukan tindak asusila melalui video call pribadi (Rosa, 2023). 

Tren mengkhawatirkan ini menuntut respons dari seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali di dunia pendidikan. Di tingkat pendidikan tinggi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tengah mengupayakan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di setiap universitas (Yashinta, 2022). Sementara secara lebih umum, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) baru-baru ini mempelopori program Generasi Berencana (GenRe) guna menangani isu seksualitas di kalangan remaja pranikah usia 10-24 tahun (Irawan, 2023).

Menilik program kerja kedua organisasi ini, bersama dengan pendapat ahli mengenai isu kekerasan seksual, ada satu poin yang kian muncul: pentingnya sosialisasi pendidikan mengenai kesehatan organ reproduktif serta pola perilaku seksual yang sehat, atau yang biasa disebut pendidikan seks.

Lantas, apa yang menjadi latar belakang keengganan masyarakat untuk menormalisasikan pemberian pendidikan seks sejak dini?

Salah Kaprah Masyarakat

Ada persepsi yang cukup kuat di masyarakat bahwa pendidikan seks akan membuka pemikiran anak terhadap seks bebas. Rasa penasaran anak yang tinggi membuat orang tua takut anaknya akan coba-coba bila mendapatkan informasi mengenai seks. 

Di sisi lain, ada pihak yang merasa pendidikan seks sebaiknya tidak dimasukkan dalam kurikulum nasional karena pemikiran masyarakat masih terlalu konservatif. Bagi sebagian orang tua, pembicaraan mengenai isu seksualitas dengan anak cenderung mengundang rasa malu, canggung, atau bahkan perasaan melanggar norma. Alhasil, guru dan tenaga kependidikan pun khawatir akan dianggap cabul apabila mereka mengajarkan pendidikan seks dalam lingkungan sekolah (Herlianto, 2022).

Sempat Diajukan Masuk Kurikulum Nasional

Menurut Tiasri Wiandani, salah satu komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), formalisasi pendidikan seks sesuai jenjang pendidikan merupakan salah satu wacana yang tengah didorong komisinya. “Tujuannya agar para siswa mengetahui tentang tubuhnya dan bisa memiliki otonomi untuk mengaturnya,” tutur Tiasri pada Januari 2022 lalu (Herlianto, 2022).

Kata kuncinya pada mengenal dan mengatur. Misalnya, dengan memperkenalkan anak terhadap konsep persetujuan. Anak dapat mengerti bahwa jika mereka merasa tidak nyaman disentuh, mereka dapat mengemukakan perasaan tidak nyaman itu dan menolak.

Selain itu, pendidikan seks formal dalam kurikulum nasional tentu akan disesuaikan dengan kapasitas anak di setiap jenjang. Konsep-konsep penting yang akan dibahas di awal meliputi pengenalan anak terhadap organ reproduktif yang mereka miliki serta perbedaan organ perempuan dan laki-laki. Kemudian secara bertahap, anak dapat dikenalkan dengan hal berkaitan dengan kebersihan organ serta pentingnya untuk waspada terhadap orang tidak dikenal (Oktari, 2023).

Tidak (Hanya) Untuk Anak

Tak berhenti di situ, pendidikan seks juga dapat menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya menjaga diri dari penyakit menular seksual. Kasus sifilis, herpes, gonore dan HIV masih banyak ditemui di masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, ada lebih dari 20.783 kasus infeksi sifilis di tahun 2022, 63 persen di antaranya terjadi pada pasien usia 25-49 tahun (Annur, 2023). Data tersebut menunjukkan bahwa pendidikan seks tidak hanya dibutuhkan anak dan remaja, tetapi juga orang dewasa.

Tetapi, pendidikan seks sendiri masih jarang diberikan di Indonesia. Tahun 2019, Durex Indonesia melakukan riset mengenai pendidikan seks terhadap remaja berusia 12-17 tahun. Hasil dari riset menyatakan 84 persen remaja belum mendapatkan pendidikan seks sedari dini. Mayoritas remaja baru menerima pendidikan seks ketika usianya telah mencapai 14-18 tahun. Bahkan, tak sedikit remaja yang belum mendapatkan pendidikan seks sama sekali (Putri, 2019). 

Pentingnya Menggeser Paradigma

“Pendidikan seks di Indonesia sangat lemah karena masih dianggap tabu. Upaya kita untuk melakukan pendidikan seksual secara komprehensif masih menemui banyak tantangan.” jelas Kepala BKKBN Dr.(HC). Dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG.(K). saat berkunjung ke Surabaya pada Januari 2022 lalu (Irawan, 2023).

Menurut Hasto, rendahnya pengetahuan remaja mengenai isu seksualitas justru akan meningkatkan risiko berhubungan di usia dini. “Hal itu mengakibatkan tingginya permohonan dispensasi nikah [yang] tidak hanya terjadi di Jawa Timur saja,” terangnya.

Pendidikan seks adalah bagian penting dari terwujudnya masyarakat yang sehat. Tak ubahnya setiap anak puber yang akan dikejutkan oleh tumbuh kembang fisik dan mentalnya, masyarakat kita juga tengah dilanda berbagai perubahan pesat yang tak hanya membuka ragam kemungkinan, namun juga bahaya baru. Alangkah baiknya bila kita tidak ditinggalkan untuk melindungi diri tanpa tahu akan bahaya yang harus dihadapi.

Daftar Pustaka

Santika, Erlina F.. “Kekerasan Seksual Jadi Jenis yang Paling Banyak Dialami Korban Sepanjang 2022.” Katadata, databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/03/kekerasan-seksual-jadi-jenis-yang-paling-banyak-dialami-korban-sepanjang-2022. Diakses pada 21 Agu. 2023.

Rosa, Nikita. “Hari Pendidikan Nasional 2023, FSGI: 46,67% Kekerasan Seksual Terjadi di Sekolah Dasar” detikEdu, www.detik.com/edu/sekolah/d-6700089/hari-pendidikan-nasional-2023-fsgi-4667-kekerasan-seksual-terjadi-di-sekolah-dasar. Diakses pada 21 Agu. 2023.

Yashinta, Maulana. “Pembentukan Panitia Seleksi dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.” Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2022.

Irawan, Willi. “BKKBN dorong adanya pendidikan seksualitas secara komprehensif.” ANTARA News, www.antaranews.com/berita/3357822/bkkbn-dorong-adanya-pendidikan-seksualitas-secara-komprehensif. Diakses pada 21 Agu. 2023.

Herlianto. “Pendidikan Seks Jadi Kontroversi, Apa Solusinya?” TuguJatim, tugujatim.id/pendidikan-seks-jadi-kontroversi-apa-solusinya. Diakses pada 21 Agu. 2023.

Oktari, Rosi. “Pentingnya Pendidikan Seksual pada Anak.” Indonesia Baik, indonesiabaik.id/infografis/pentingnya-pendidikan-seksual-pada-anak. Diakses pada 21 Agu. 2023.

Annur, Cindy Mutia. “Ada Lebih dari 20 Ribu Kasus Sifilis di Indonesia pada 2022, Penderitanya Mulai Pelanggan PSK hingga Ibu Hamil.” Katadata, databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/15/ada-lebih-dari-20-ribu-kasus-sifilis-di-indonesia-pada-2022-penderitanya-mulai-pelanggan-psk-hingga-ibu-hamil. Diakses pada 21 Agu. 2023.Putri, Adelia. “Riset: 84 Persen Remaja Indonesia Belum Mendapatkan Pendidikan Seks.” detikHealth, health.detik.com/berita-detikhealth/d-4629842/riset-84-persen-remaja-indonesia-belum-mendapatkan-pendidikan-seks. Diakses pada 21 Agu. 2023.

About the author /