Menggali Wawasan di Balik Lautan Buku Bersejarah

Fotografer: Sherlynn Yuwono

Menggali Wawasan di Balik Lautan Buku Bersejarah

Oleh: Winston Sujayaputera

Buku sering diibaratkan sebagai jendela dunia. Ia mengandung jutaan wawasan dan informasi yang menjadi dasar seluruh impian kita. Cukup membaca sebuah halaman saja, seseorang bisa melihat seisi dunia tanpa harus menginjakkan kaki ke sana. Hal ini turut dirasakan seorang kolektor buku bersejarah, Oei Hiem Hwie. Pria kelahiran tahun 1938 ini telah menyaksikan berbagai kejadian lampau yang dimuat dalam berbagai buku sejarah. Berbagai perjalanan hidup telah ditempuh hingga akhirnya ia putuskan membangun Perpustakaan Medayu Agung sebagai tempat penyimpanan koleksinya. Yuk, simak kisahnya lebih lanjut!

Berawal dari profesinya sebagai seorang wartawan di harian Trompet Masjarakat, Hwie gemar membaca dan mengoleksi buku maupun koran. Namun, kariernya sebagai seorang jurnalis berhenti 30 Desember 1965 karena tugasnya untuk meliput kegiatan presiden pertama Republik Indonesia (RI). Ia dianggap sebagai pembela Dr. (H.C.) Ir. Soekarno dan dinyatakan sebagai sosok yang berbahaya pada rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, pemerintah menjebloskannya ke dalam penjara. Hampir seluruh dokumen dan koleksi milik Hwie dirampas. Bersyukur, masih ada beberapa arsip yang berhasil ia sembunyikan dari razia tersebut.

Sembari menunggu ketidakpastian di penjara, timbullah keinginan dari lubuk hatinya untuk membuat sebuah perubahan. Ia ingin seluruh generasi mendatang dapat memahami peristiwa yang terjadi di masa lampau tanpa harus kembali ke masa itu. Begitu bebas dari penjara, ia pun mulai mengumpulkan koran, majalah, dan buku untuk dikoleksi kembali. Meskipun dinyatakan tidak bersalah, status Hwie sebagai seorang eks tahanan politik (tapol) menutup kariernya dalam bidang jurnalistik. Untungnya pada saat bersamaan, ia bertemu Haji Mas Agung, seorang keturunan Tionghoa Muslim yang merupakan pendiri Toko Buku Gunung Agung. Agung melihat kegemaran Hwie mengkliping koran dan mengoleksi buku. Alhasil, Agung terkadang memberikan buku yang ada di tokonya kepada Hwie sekaligus mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi.

Usai mendapatkan pengalaman bekerja bersama Agung, seorang pengusaha bernama Ongko Tikdojo menghampiri Hwie untuk melihat koleksi-koleksinya. Melihat kandungan sejarah di balik koleksi tersebut, ia membuka peluang bagi Hwie membangun sebuah perpustakaan. Harapannya, perpustakaan ini bisa mendorong seluruh masyarakat mempelajari sejarah Indonesia. Akhirnya, terbentuklah Perpustakaan Medayu Agung yang kini kita kenal. Di balik penamaan perpustakaan tersebut, Hwie mengungkapkan, “Medayu memiliki makna semangat, sedangkan Agung merupakan bentuk penghormatan saya kepada Haji Mas Agung.”

Dibangun sejak 1 Desember 2001, Perpustakaan Medayu Agung mempunyai ribuan buku yang menawarkan pengetahuan tak terbatas bagi kaum pecinta sejarah, politik, dan sosial. Terdiri atas dua lantai saja, perpustakaan kuno ini menyimpan berbagai buku, koran, majalah, dan kliping zaman dulu yang menceritakan beragam kisah sejarah. Buku maupun majalah kuno tersebut kerap berdatangan dari pihak-pihak yang ingin melestarikan sejarah Indonesia. Di antara koleksinya yang begitu banyak, Hwie masih menyimpan koran terbitan tahun 1950-an. Sebut saja koran Suara Rakjat, Djawa Pos, Surabaja Post, Merdeka, dan masih banyak lainnya. Saat ini, Perpustakaan Medayu Agung masih dikelola oleh Hwie yang berusia 84 tahun, bersama dengan beberapa staf lainnya. 

Hwie juga masih menyimpan buku-buku yang hanya tersisa satu eksemplar saja di dunia, seperti Staatsblad Nederlandsch Indie terbitan 1893 yang masih berbahasa Belanda dan Mein Kampf karya Adolf Hitler. Ada juga buku karya Multatuli alias Douwes Dekker seperti Max Havelaar serta Saidjah dan Adinda. Bahkan, terdapat naskah asli Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer yang tersimpan rapi. Berkat keakrabannya dengan Pram semasa mendekam di penjara tepatnya di Pulau Buruh, Hwie menerima sejumlah buku karangan Pram, seperti Cerita dari Blora dan Jejak Langkah. Sambil mengoleksi berbagai macam buku kuno, Hwie sendiri menerbitkan buku memoar karangannya sendiri. Buku tersebut berisi kisah perjalanan hidupnya sebagai bentuk kesaksian akan kejadian bersejarah yang pernah terjadi. Harapannya, buku tersebut dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk melestarikan sejarah.

Menanggapi minat baca generasi masa kini terhadap buku, Hwie hanya dapat menggelengkan kepalanya. Menurutnya, seharusnya generasi masa kini menumbuhkan kebiasaan membaca buku, bukan menjadikan video maupun berita di media sosial sebagai sumber informasi. Hwie mengatakan, “Segala bentuk video maupun berita yang kita dapatkan, itu semuanya merupakan bentuk ringkasan dari sebuah buku. Jadi, tentu tidak selengkap di dalam buku. Selain sebagai sumber informasi, membaca turut melatih daya otak kita.”

Di balik keinginannya membangun perpustakaan, Hwie memiliki kecintaan yang tinggi terhadap Indonesia. “Banyak orang bertanya-tanya mengapa saya tidak ingin menjadi seorang pengusaha daripada susah-susah mengelola perpustakaan. Boleh dikatakan saya adalah seorang etnis Tionghoa, tetapi hati saya hanya untuk Indonesia saja,” ujar Hwie. Ia berharap agar masyarakat dapat menerapkan rasa cinta tanah air dengan lebih mengenal sejarah.

Seluruh koleksi milik Hwie sendiri mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi. Sampai-sampai ia pernah mendapat tawaran dari seorang kolektor yang ingin membeli seluruh koleksinya dengan harga satu miliar rupiah. Sontak saja, ia menolaknya. Bagi Hwie, koleksi tersebut bukanlah sarana mencari uang, tetapi sebagai sarana ilmu. Untuk itu, koleksi tersebut wajib tetap berada di perpustakaan.

Memang mengelola sebuah perpustakaan bukanlah suatu hal yang mudah, khususnya di masa pandemi Covid-19 seperti ini. Seiring dengan jumlah buku yang semakin banyak, Hwie berencana untuk memindahkan koleksinya ke tempat yang lebih layak. Dengan bangunan yang baru, tentu koleksinya dapat tertata lebih rapi. Namun kembali lagi, semua membutuhkan uang. Terkadang ketika donasi yang diberikan tidak cukup, Hwie harus rela mengeluarkan uang pribadinya untuk biaya operasional. Untuk sementara ini, Perpustakaan Medayu Agung masih berlokasi di Jalan Medayu Selatan Gang IV, No. 42-44, Surabaya. Cukup membayar 75 ribu rupiah saja, Sobat dapat menjadi anggota dan mengakses seluruh buku di sana secara gratis.

Banyak hal yang dapat kita pelajari melalui buku-buku bersejarah. Entah asal usul, identitas, atau bahkan jati diri kita. Sobat GENTA, kepedulian masyarakat terhadap sejarah masih tergolong minim. Bung Karno pernah berkata, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah karena jalan kejadian itu akan selalu berulang. Kita justru wajib memetik sebuah pelajaran dari kejadian tersebut agar tidak terulang kembali.” Jadi, tunggu apa lagi Sobat? Mari bersama pelajari sejarah di balik tanah air tercinta!

About the author /