Fotografer: Ferdiantio Jeremiah
Seminar Wawasan Kebangsaan WGG 2018: Yosi Mokalu Ajak Generasi Z Hidupkan Tahun Politik
Oleh: Natania Wahyuni T
Tentunya Seminar Wawasan Kebangsaan Welcome Grateful Generation (WGG) menjadi salah satu yang ditunggu para mahasiswa baru Universitas Kristen (UK) Petra angkatan 2018. Selain yang terutama bisa melihat influencer Indonesia hadir di kampus tercinta, seminar ini tentunya mampu menggugah kekritisan mahasiswa baru yang mungkin tengah tertidur setelah mengalami liburan panjang selepas kelulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagaimana tidak? Membahas tahun politik yang akan datang tentunya menjadi topik yang seru!
Lentera?
Bertempat di Auditorium Gedung K UK Petra pada 1 Agustus 2018, seminar ini mengusung tema “Lentera Negeriku”. Berada di zaman millenial, pemilihan “lentera” yang bisa dikatakan “kuno” tentu menimbulkan pertanyaan. Lentera yang merupakan sebuah alat penerang kecil ini dulunya berperan besar sebelum lampu bohlam ditemukan. Walaupun cahaya yang dihasilkan remang-remang, ia mampu menembus kegelapan. Tak sepraktis lampu, cahayanya harus terus dijaga dengan rajin diberi minyak. Tapi lentera menjadi opsi yang lebih aman daripada lillin dan obor, di mana eksterior dari lentera mampu melindungi api di dalamnya sekaligus menghindari terbakarnya benda-benda di sekitarnya. Itulah mengapa lentera menggambarkan setiap dari kita yang mampu menjadi terang bagi sekeliling. Cahaya yang kita hasilkan merupakan wujud harapan bagi bangsa Indonesia. Api di dalamnya menggambarkan kemauan kita dalam berkarya. Namun perlu diingat bahwa perlu minyak ibarat modal dan kemampuan untuk menimbulkannya. Eksterior dari lentera sendiri menggambarkan UK Petra yang berperan sebagai wadah bagi mahasiswa. Tak berhenti di situ, lentera juga diartikan sebagai alat penuntun.
Salah satu lentera bangsa Indonesia
Tokoh yang hadir dalam Seminar Wawasan Kebangsaan WGG merupakan salah satu dari “lentera” Indonesia. Ialah Herman Josis Mokalu, atau yang lebih dikenal dengan nama Yosi Mokalu. Ia adalah salah satu aktor Indonesia, sekaligus personil grup musik Project Pop dan Youtuber Cameo Project. Tak berhenti di sana, ia adalah penggerak #siberkreasi dan #nasionalismeradikal. Hah? Radikal? Radikal yang sering dianggap berkonotasi negatif agaknya aneh jika dikombinasikan dengan kata nasionalisme yang nampak jauh baiknya. Padahal, radikal adalah perasaan atau afeksi terhadap segala sesuatu yang bersifat ekstrim sampai ke akar-akarnya. Sikap yang radikal akan mendorong individu untuk membela secara mati-matian mengenai suatu kepercayaan, keyakinan, atau ideologi yang dianutnya (Sarlito Wirawan: 2012). Sebuah istilah yang netral dapat berubah konotasinya menjadi negatif jika sering dikaitkan dengan hal negatif.
“Tak banyak negara memperjuangkan sendiri kemerdekaannya. Namun Indonesia adalah salah sedikit-nya. Dibutuhkan keradikalan nasionalisme untuk bisa melakukan itu semua,”
jelas lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Parahyangan Bandung ini. Sumpah Pemuda bisa menjadi contoh akibat dari keradikalan nasionalisme. Dibutuhkan perjuangan yang besar dari para pemuda untuk bisa berkumpul, menyatukan pikiran dan kekuatan mengingat saat itu pesawat belum tersedia. Buat apa kumpul-kumpul ngomongin masa depan bangsa kalau bukan karena radikal?
Apakah dengan sarana transportasi yang sudah mumpuni dan kecanggihan social media masa kini, komunikasi berfaedah seperti era sebelumnya tetap terjadi? Tak usah jauh-jauh membahas radikalisme. Permasalahan utamanya, apakah Generasi Z yang sibuk di era social media ini bahkan mempunyai kesadaran terhadap kondisi politik Indonesia? Kesibukan Generasi Z ini bisa jadi karena ikut-ikutan #kekechallenge yang sedang happening atau malah sedang memperkeruh keadaan dengan berita hoax, penggiringan opini yang bersifat subjektif, atau komentar-komentar yang berisikan hatred speech. Keresahan ini Yosi curahkan lewat salah satu music video-nya yang ditampilkan di seminar, “Generasi Tanpa Hati”.
“Sudah banyak bangsa yang porak poranda karena kebencian. Jangan sampai Indonesia salah satunya,” pungkasnya.
Namun jangan sampai hal ini dianggap sebagai wacana untuk membandingkan antar generasi yang telah jadi tradisi. Saat ditemui oleh GENTA, tamu kelahiran 27 November 1970 ini bertutur, ”Dulunya mahasiswa sering demo karena dianggap tindakan yang berani. Tentunya distraksi menjadi sorotan. Setelah era reformasi, setiap hari jadi ada demo di bundaran HI. Sebelumnya diperhatikan orang, jadi tidak dianggap. Nilai efektivitas turun ke jalan pun berkurang. Saya kira orang sekarang juga sudah lebih pandai dengan langsung menuju sasaran, contoh kecil bisa dengan tweet (menggunakan Twitter, ,-red) ke akun yang bersangkutan.”
Apatisme mahasiswa masa kini pada demontrasi atau aksi anarki lainnya tak menyebabkan mahasiswa menjadi melempem. Zaman telah berubah, dan teknologi mengizinkan kita untuk menyelesaikan masalah berat tanpa menguras energi sebesar dulu. Meningkatkan awareness bisa dilakukan melalui gadget kita. Terlihat dari karya-karya yang disuguhkan Cameo Project yang sering membahas isu-isu sensitif. Video di Youtube sudah bisa melakukan pekerjaan itu. Hal terpenting, semuanya didukung dengan data yang faktual tanpa penggiringan opini secara subjektif. Kita pun harus menjadi konsumen yang tak menelan mentah-mentah segala informasi.
Nyatakan yang benar, bukan yang populer!
Hidup Generasi Z! Hidup tahun politik!