Ilustrator: Tasha Isabella
Politainment, Politik atau Infotainment?
Oleh: Natania Wahyuni T
Bila dulunya mahasiswa Zaman Orde Baru rela turun ke lapangan demi politik, apakah mahasiswa zaman now juga akan melakukan hal yang serupa?
Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa Sobat GENTA simpulkan sendiri, melihat tak ada lagi aksi riil yang ada di lapangan. Di media sosial pun, kolom komentar dirasa bukan tempat bertukar pikiran yang baik mengingat kemungkinan terjadinya perselisihan antar netizen cukup tinggi. Politik yang tak mudah diinterpretasi lewat media manapun, membuat kita tidak menjadi bagian di dalamnya.
Kok bisa? Antara kita masih menganggap politik bukan ranahnya anak muda atau kita sebagai subjek yang memposisikan politik sebagai bahan tontonan saja. Masalahnya, diakui atau tidak, banyak bahan tontonan yang lebih asyik daripada politik. Mungkin dari sini akhirnya baik media massa atau politisi jadi berkreasi dalam memunculkan isu. Isu yang penting hingga tidak penting dari politik, atau yang punya data dan fakta hingga yang tidak. Kalau kita merasa “bad news is for the sake of good news” sering muncul pada media agar lebih menarik pemirsa, apa yang membuat slogan ini jadi tak bisa digunakan di ranah politik dengan mengambil sisi entertainment-nya?
Tanpa bermaksud menyingkirkan netralitas, saya ingin mengambil beberapa contoh yang jelas terjadi belakangan ini. Contohnya saja Sandiaga Uno, yang mana awalnya media membahas polemik pribumi hingga akhirnya berganti topik menjadi lip balm.Sandiaga bahkan merasa perlu untuk menjawab rasa penasaran netizen mengenai penyebab ia menggunakan lip balm, di mana membelinya, apa mereknya, dan lain-lain. Biasanya detail kecil semacam ini dekat dengan selebriti, bukan politisi. Tempatnya pun biasanya di majalah entertainment atau tayangan infotainment, bukan dalam bentuk straight news.
Belum lagi mengenai kasus Ratna Sarumpaet, kemunculan tagar #papamintasaham, hingga kecelakaan Setya Novanto dalam perjalanannya menuju KPK yang sempat booming, bahkan menjadi guyonan di media sosial. Pemberitaan sekarang jadi membingungkan, politik atau infotainment? Atau jangan-jangan memang sudah tidak ada bedanya lagi?
Contoh kasus yang diambil tadi agaknya merupakan hasil percampuran antara politik dengan industri hiburan. Kedua hal ini mengakibatkan kait kelindan antara aktor, topik, dan proses politik dengan budaya hiburan media. Dari sinilah bisa muncul istilah politainment (politik entertainment). Meski terdengar seperti istilah baru yang main-main, politainment sebenarnya telah ditelaah oleh beberapa ahli politik dan komunikasi seperti David Schultz dan Justus Nieland. Sekilas, konten politik nampak menguntungkan. Politainment memberi ruang untuk tampil dan mengembangkan strategi komunikasi bagi politisi. Penonton pun diuntungkan karena masalah politik bukan lagi masalah serius yang tak bisa diperbincangkan karena telah diolah dengan penuh drama dan kejutan yg menghibur. Akan tetapi, politainment juga memiliki masalah yang serius.
Politainment mereduksi segala hal yang penting. Politik bukan lagi masalah program dan data, bukan lagi kredibilitas dan kapabilitas. Media lebih berfokus pada bagian-bagian tertentu politik yang bisa menjadi hiburan penonton. Momen-momen dari politisi dieksploitasi untuk menjadi konten yang menghibur.
Semuanya berfokus pada penggambaran citra sang politisi. Masing-masing bisa memilih sifat gagah, tegas, maupun lembut tergantung strategi dan performa komunikasinya di media. Melalui citra media inilah kita terlibat dalam proses politik. Kita merasa senang, sedih, terharu atau marah oleh aktor-aktor politik yang kita saksikan. Bisa jadi, kita memilih wakil berdasarkan citra tersebut. Aspek hiburan dari politainment membuat kita kurang berpikir rasional. Sebagaimana sinetron, sikap politik kita ditentukan oleh empati pada tokoh protagonis dan kebencian pada tokoh antagonis.
Pada akhirnya, produk media adalah citra, bukan data dan fakta. Kita tebak-tebakan saja, ada berapa Sobat GENTA yang tahu visi misi dari pemerintah yang sudah atau akan dipilih? Media yang kita lihat terlalu sibuk mengkreasikan kasus hingga lupa warga negaranya butuh informasi kampanye bermutu. Pada akhirnya, kita memilih politisi seperti memilih aktor kesayangan dan membela mereka setengah mati dari caci maki kubu sebelah. Perbedaan antara warga negara dengan penggemar menjadi buram.
Namun, semua hal ini tak seharusnya menjadi alasan bagi kita untuk pesimis dan tak lagi peduli politik. Poilitik adalah pembentuk peradaban. Cania Citta Irlanie pada acara Milenial Melek Politik pada Jumat (16/11/2018) lalu memberikan salah satu contohnya, bahwa perempuan baru saja diperbolehkan mendapat SIM (Surat Ijin Mengemudi) di Arab Saudi pada Juni 2018. Tak hanya itu, RRC (Republik Rakyat Cina) bahkan memblokir akses google saat para pemimpin negara menggelar rapat. ”Kita cenderung take it for granted atas apa yang tersedia di Indonesia. Bukan tidak mungkin bila suatu saat nanti Indonesia menjadi salah satu negara yang memberi batasan seperti contoh di atas. Peran kita untuk berpihak dan membentuk peradaban dibutuhkan,” ujarnya. Kenetralan tak boleh menjadi tameng bagi kita untuk tidak memilih. Perlawanan diam kita bisa jadi membahayakan masa depan Indonesia. Jadi, Sobat GENTA harus apa dengan kondisi produk media sosial masa kini?
“Kita jarang tahu mengenai benar tidaknya yang dibicarakan orang, sekalipun orang terdekat kita. Apalagi pada politisi?” ucap Cania saat ditemui Tim GENTA. “Tapi hal ini tidak menyurutkan kita untuk mencari tahu. Hal ini bisa kita lihat dari aliansi politiknya, pengelolaan bisnis yang dimiliki, hingga cara mereka dalam berkeluarga.”
Jangan sampai politainment menghalangi kita untuk sadar total mana informasi politik yang patut diterima. Jangan sampai juga Sobat GENTA malah berpasrah dengan keadaan. Mari melek politik!