Penulis: Jovita Indira
Ilustrator: Aurelia Fransiska
Negara Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, karenanya “kampanye politik” pastinya sudah tidak asing di telinga masyarakat. Menurut seorang ahli politik, Arnold Steinberg, kampanye politik adalah cara yang digunakan warga negara dalam demokrasi untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka. Kampanye ini adalah suatu usaha yang terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang yang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi.
Sebagai sebuah kegiatan terorganisir, kampanye tentunya memiliki sebuah fungsi dan tujuan. Secara garis besar, kampanye berfungsi sebagai suatu penyalur informasi seputar peserta pemilihan umum (pemilu) terhadap masyarakat yang hendak memilih. Melalui saluran ini, tiap calon dapat meyakinkan pemilih dengan menjajakan atau menawarkan visi, misi, program, data dan citra diri peserta pemilu.
Dalam model kampanye Ostergaard, ada tahapan yang harus dilakukan dalam mencapai tujuan suatu kampanye yaitu :
- Tahap pertama adalah memunculkan kesadaran dari masyarakat tentang sebuah masalah untuk menarik perhatian dan memberikan informasi dari produk atau gagasan yang dikampanyekan.
- Tahap kedua adalah melakukan perubahan dalam ranah sikap untuk memunculkan simpati, rasa suka dan kepedulian tentang masalah yang dikampanyekan.
- Tahap ketiga ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat yang berarti adanya tindakan tertentu dari sasaran kampanye, tindakan tersebut dapat dilakukan sekali itu saja atau berkelanjutan yang dapat mengubah perilaku secara permanen dari diri sasaran.
Menurut Gatut Priyowidodo, Ph.D., dosen mata kuliah Komunikasi Politik Ilmu Komunikasi Petra Christian University (PCU), kampanye dalam pemilihan modern adalah sebuah kewajiban. Tanpa kehadiran kampanye, akan sulit menilai kepribadian calon pemimpin. Kampanye juga harus memperlihatkan ide-ide dan gagasan calon pemimpin secara elegan. Maka dari itu muncul kampanye yang terbagi dalam tiga kelompok; black, grey, dan white. Dalam lingkup kampanye, black campaign dan grey campaign tidak disarankan. Alasannya karena black campaign bertujuan untuk menang dengan segala cara, sedangkan grey campaign mengemas sesuatu yang salah sebagai hal yang benar. Di sisi lain, white campaign dianggap ideal karena menyampaikan gagasan yang baik dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan.
Budaya kampanye tidak hanya diterapkan dalam dunia politik skala besar seperti pemilihan pemerintah dan presiden saja. Hal ini tidak mengherankan karena dilihat dari dasar Negara Indonesia yang menjadi tuntunan hidup masyarakatnya, yaitu Pancasila. Pada sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sila ini memiliki makna mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Meski demikian, musyawarah tentunya tak mencapai mufakat apabila seluruh Rakyat Indonesia ikut andil. Sebab itu, diperlukan perwakilan dari tiap-tiap daerah yang ditunjuk. Perwakilan daerah yang telah terpilih nantinya akan mengemukakan aspirasi masyarakat melalui suaranya dalam pertemuan dengan perwakilan lain.
Pentingnya memiliki perwakilan juga disadari oleh mahasiswa, tak heran jika kampanye dan juga pemilihan berdasarkan suara terbanyak juga dilakukan dalam skala kecil, contohnya seperti pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Ketua Himpunan Mahasiswa (Hima) dalam lingkup universitas. Artinya mahasiswa juga turut ambil bagian sebagai seorang pemilih, suara yang diberikan nantinya akan menentukan pribadi dengan, visi, misi dan cara kepemimpinan seperti apa yang akan memimpin dalam tatanan politik universitas tersebut. Dalam hal tersebut pastinya sebuah kampanye dapat memberikan dampak yang begitu besar dalam sebuah kampanye. Artinya jika seorang calon dengan tim sukses yang baik dapat menyampaikan dan mempromosikan program, visi, dan misinya dengan baik, serta menarik maka besar kemungkinan bahwa calon tersebut akan terpilih.
Lalu, bagaimana jika calonnya tunggal? Apakah pemilihannya dianggap sah atau hanya sekedar formalitas? Menanggapi pertanyaan tersebut, Gatut beranggapan bahwa situasi seperti ini memang tidak menutup kemungkinan akan terjadi. Menurutnya dalam hal ini, calon tersebut akan melawan kotak kosong dan dalam situasi tersebut, tidak selamanya seorang calon tunggal akan selalu menang. Pemilihan tetap dijalankan sekalipun calon terpilihnya hanya satu merupakan bentuk pemaknaan terhadap demokrasi. Sebab itu, penerapan kotak kosong harus tetap dilakukan jika terdapat situasi calon tunggal. Jika calon tunggal tersebut kalah melawan kotak kosong, ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi, diantaranya; dilakukan pemilihan ulang, terjadi kekosongan jabatan, hingga orang pemegang jabatan lama kembali menduduki jabatan tersebut.
Dapat terlibat untuk memilih calon merupakan privilege dari diakuinya hak suara rakyat dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat mereka yang dijamin didalam hukum HAM. Sayang, tak jarang ada beberapa pihak yang memilih untuk bersikap apatis yang berujung dengan tidak digunakannya hak suara tersebut.
Menurut survei yang dilakukan oleh lembaga survei Alvara Research Center pada tahun 2019, menyatakan bahwa jumlah pemilih yang belum menentukan atau undecided voters meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2018 yang dimana sebelumnya berada di angka 10,6 persen menjadi 11,4 persen di tahun 2019. Chief Executive Officer (CEO) Alvara Research Center, Hasanuddin Ali memaparkan bahwasanya pemilih yang belum memutuskan didominasi oleh pemilih muda. Pastinya ada faktor yang membuat para kaum muda kebingungan dalam menentukan pilihannya, hal ini dapat berujung dengan tindakan golput.
Pemilu tahun 2024 juga tak luput dari fenomena ini. Menurut Pusat Edukasi Anti Korupsi, pemilu tahun ini pemilihnya adalah kaum muda mudi. Berdasarkan data yang didapat dari KPU, terdapat 56,4 persen pemilih muda yang artinya lebih dari setengah total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sayangnya, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Centre For Strategic and International (CSIS) pada tahun 2024, sebanyak 11,8 persen responden memilih untuk golput. Padahal, keberadaan pemilih penting guna melangsungkan keberadaan demokrasi.
Terdapat banyak faktor mengapa kawula muda memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya terdapat dua kategori yaitu karena masalah teknis dan juga faktor non-teknis. Dalam kategori masalah teknis ini, pemilih mengalami kesulitan ketika hendak menggunakan hak suaranya, contohnya seperti tidak berada di asal daerahnya, tidak punya atau tidak mendapatkan kartu pemilih, sudah berusia 17 tahun tetapi tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Adapun faktor non-teknis seperti ideologi dan pesimisme baik terhadap calon atau bahkan visi misi dan programnya yang tidak jarang dianggap berseberangan dengan pandangan politik mereka sehingga lebih memilih untuk tidak menggunakan hak suara atau golput.
Pemilih yang memilih untuk golput akan mendapatkan kerugian bagi diri mereka sendiri. Aspirasi yang dimiliki tidak akan tersalurkan ke pusat melalui perwakilan serta harus mengikuti pilihan suara terbanyak. Meskipun tidak memilih dapat dikatakan sebagai sebuah pilihan untuk menolak memilih. Kerugian yang ditanggung karena tidak memanfaatkan hak pilih yang sudah didapatkan tetap tidak terhindarkan.
Dalam lingkup universitas, keberadaan mahasiswa yang memilih juga dinilai penting. Gatut berpendapat bahwa sebuah suara sangat penting dalam pemilihan umum. Terutama dalam Pemilu Raya (Pemira) yang menjadi ajang pemilihan pemimpin dan perwakilan di PCU. Menurutnya, penting untuk memilih pemimpin dan perwakilan yang dapat mewakili aspirasi atau ide mahasiswa untuk diperjuangkan pada level universitas atau lembaga yang berada di universitas lain untuk mengembangkan koneksi. Tak hanya itu, keberadaan Pemira juga krusial dalam universitas sebagai wadah untuk mahasiswa berlatih memilih pemimpin. Melalui Pemira, Gatut berharap mahasiswa dapat terlibat aktif dalam kegiatan pemilu dalam skala yang lebih besar di masa depan.
Sumber:
https://repositori.uma.ac.id/bitstream/123456789/1957/5/108510022_file5.pdf
https://repository.unpas.ac.id/42615/4/BAB%20II.pdf
https://katadata.co.id/analisisdata/64afc53e7d945/potensi-golput-pemilih-muda-di-pemilu-2024?page=2