Bumikan Diplomasi, Taklukkan Dunia Bisnis Ekonomi

Sumber foto: Dokumentasi Panitia

Bumikan Diplomasi, Taklukkan Dunia Bisnis Ekonomi

Oleh: Alvin R. Wony’s & Denalyn T. Istianto

Topik diplomasi mungkin terasa jauh dari mahasiswa. Bagaimana tidak? Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diplomasi sendiri memang berarti penyelenggaraan resmi hubungan antara satu negara dengan yang lainnya. Tak heran, kita sebagai mahasiswa lebih sering menganggap diplomasi adalah urusan pemerintah.

Dalam rangka “membumikan” diplomasi, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu) mengadakan Diplomacy Festival (Diplofest) 2018. Salah satu rangkaiannya dilaksanakan di Universitas Kristen (UK) Petra, berupa public lecture dengan tema “Perkembangan Bisnis/Ekonomi di Kawasan Asia-Pasifik”. Bersama Dr. Siswo Pramono, LL.M, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Adwin Surya Atmadja, S.E., MIEF., Ph.D., Ketua Program Studi (Prodi) Manajemen UK Petra, public lecture ini dipandu oleh Dr. Sautma Ronni Basana, S.E., M.E. sebagai moderator.

Diplomasi dalam Ekonomi dan Bisnis Indonesia Butuhkan Partisipasi Generasi Milenial

“Setiap diplomasi itu akan kokoh kalau mendapat dukungan dari konstituen,” tutur Siswo menjelaskan alasan pembumian alias sosialisasi diplomasi ini dilakukan. Konstituen ini termasuk perguruan tinggi, para mahasiswa, dan juga kelompok pengusaha. Menjawab kebutuhan akan dukungan ini, Diplofest 2018 ingin menyosialisasikan khususnya kepada generasi muda tentang pentingnya diplomasi dalam bidang pekerjaan. Namun, public lecture yang diadakan di Ruang Amphitheatre Kampus Timur UK Petra ini khusus membahas peran diplomasi dalam bidang ekonomi dan bisnis. “Kalau semua negara itu rukun,  PPP (Purchasing Power Parity) masing-masing (negara-negara kawasan Indo-Pasifik atau East Asia Summit (EAS), red.) disatukan, jumlahnya menjadi sekitar US$65 triliun tahun ini. Tiga tahun dari sekarang, ini akan meningkat menjadi US$95 triliun. Ini jumlah kekuatan ekonomi terbesar di dunia, kalau kita bekerja sama,” jelas pria yang memperoleh gelar masternya dari Monash University, Australia ini. Perkembangan ekonomi tak lagi bicara soal negara sendiri saja, tapi juga dengan relasi dan kerja sama mancanegara.

“Mengembangkan di luar dan di dalam tentu berbeda. Kalau di dalam, kita sudah tahu kultur kita seperti apa. Kalau di luar, ‘kan kita tidak tahu kulturnya seperti apa. Makanya, kita perlu belajar,” jelasnya ketika ditanyai tentang perkembangan di dalam Indonesia sendiri. Pasar Indonesia dan pasar luar negeri sudah mulai menyatu menjadi pasar global. Tak dapat dipungkiri, proses belajar tentang luar negeri harus dilakukan. Namun, belajar seharusnya tak lagi sulit di masa sekarang, terutama dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat. “Kalau di internet orang bisa bikin bom, kenapa ‘kok kita bukan belajar untuk sesuatu yang positif, bukan destruktif seperti itu? ‘Kan itu sama aja teknologi toh?” ujarnya memberikan contoh. Selain itu, pria yang pernah berperan sebagai peneliti utama sejumlah kajian BPPK ini juga memberikan contoh lain. Ia mengatakan bahwa untuk bisa mengambil peluang di luar negeri, seseorang harus mau belajar bahasa dari negara lain. Begitu bahasanya dipelajari, barulah kita bisa mulai memahami kondisi pasar.

Meski konteks kali ini bicara soal bisnis, tak berarti hanya mereka yang bergelut di bidang ekonomi saja yang dapat berpartisipasi. Orang-orang dunia sastra, teknik, bahkan budaya pun dapat berpartisipasi dengan mengaplikasikan bidang keahlian mereka pada peluang yang ada. Deputi Direktur untuk Organisasi Global di BPPK tahun 2003-2004 ini mengambil contoh pembangunan pelabuhan yang tetap membutuhkan pemahaman tentang kondisi jual-beli negara bersangkutan.

Bicara soal partisipasi, masalahnya terletak pada kemauan untuk mengeksplorasi dan keluar dari zona nyaman masing-masing. Apalagi, diplomasi mungkin bukan bidang yang familier bagi mahasiswa. “Eksplorasi itu suatu kewajiban. Karena yang namanya comfort zone itu membuat kita menjadi infant, menjadi bayi,” ujar alumni Universitas Airlangga ini. Ia menegaskan pentingnya membentuk mental generasi muda. Menurut Siswo, pembentukan mental, terutama kemauan untuk melatih diri agar selalu kreatif dan mempunyai sikap percaya diri merupakan sesuatu yang harus dimiliki dalam menghadapi era globalisasi ini. “Punya sikap percaya diri, yang namanya revolusi mental itu harus ada. Bahwa setiap pencapaian itu menggunakan upaya kita sendiri. Bukan dengan cara menyogok atau dengan cara lain, karena itu tidak akan berlaku,” tegasnya. Mengambil contoh kompetisi olahraga internasional yang baru-baru ini diadakan, Siswo ingin kita melihat bahwa sebenarnya Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan. Untuk ini, ia menjelaskan mengenai apa yang harus dilakukan oleh generasi milenial. “Eksplorasi, keluar dari comfort zone, itu berarti membuat pertanyaan dan mencari jawabannya di luar sana,” pungkasnya.

Tantangan bagi para generasi milenial sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Di dunia yang berputar sangat cepat, generasi milenial butuh kreativitas dan inovasi untuk dapat bertahan. Tetap saja, sebelum semua ini dapat dimulai, tembok zona nyaman masing-masing kitalah yang perlu diruntuhkan terlebih dahulu. Bagaimana mau menjadi juara di luar, kalau tidak mengalahkan diri sendiri dulu?

About the author /