Logo Genta
GENTA Petra Logo

Sisi Gelap Positive Vibes, Diduga Menjadi Racun Dalam Senyap

Diterbitkan pada: 25 September 2025 Reporter: Angelica Feliciona Theritno

Sisi Gelap Positive Vibes, Diduga Menjadi Racun Dalam Senyap

Positivitas yang beracun atau yang lebih dikenal sebagai ‘Toxic Positivity’ menjadi fenomena yang berdampak luas di era digital. Istilah ini tidak lagi asing terdengar. Tidak menutup kemungkinan kamu juga pernah mendengarnya saat sedang scrolling di media sosial. Lantas kamu bertanya-tanya, apa arti sebenarnya dari toxic positivity itu? Dua kata dengan makna yang saling bertolak belakang, namun kerap muncul berdampingan, dan justru mencerminkan realitas yang ada.

Menilik dari maknanya, sikap positif dan optimisme dianggap bermanfaat dalam menampilkan citra diri untuk membentuk kesan yang baik. Namun, di sinilah adanya peluang hal tersebut menjadi beracun.

Katakanlah saat ini kamu sedang memiliki kesulitan dan merasa khawatir karenanya. Pikirmu, alangkah senang jika beban itu bisa sedikit diringankan dengan berbagi cerita pada seseorang. Namun, kamu justru membungkam diri karena kuatir akan merasa tersudut oleh perkataan-perkataan seperti:

“Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Ambil sisi positifnya kan bisa.”

“Dibawa happy aja. Ngapain sedih-sedih.”

“Masih banyak orang lain di luar sana yang nggak seberuntung kamu.”

Kalimat yang sering terucap di kalangan anak muda ini mendapat sorotan karena efeknya tidak seindah kata-katanya. Toxic positivity sering muncul tanpa disadari, bahkan dari niat yang sebenarnya baik. Di titik inilah penting untuk menyadari dua sisi. Bagi pendengar, jangan terburu-buru menganggap setiap kata penyemangat sebagai toxic positivity. Meskipun tidak sepenuhnya tepat jika harus merespons tanpa persiapan,  perkataan ringan semacam itu yang menjadi wujud kepedulian sederhana mereka.

Sebaliknya, bagi pemberi semangat, cobalah menahan diri untuk tidak terburu-buru menimpali dengan kalimat positif. Ada kalanya orang yang bercerita hanya ingin didengar, tanpa perlu disela atau “diselesaikan” masalahnya dengan cepat. Membuka ruang dengar bisa jauh lebih berharga daripada memberi nasihat yang tidak pada waktunya. Penting untuk diingat bahwa perasaan negatif seperti rasa cemas, kecewa, atau lelah adalah bagian alami dari hidup kita (Cherry, 2024).

Media populer menginterpretasikan toxic positivity sebagai tuntutan untuk selalu berperilaku maupun menanggapi sesuatu dengan sikap yang positif (Scott, 2020; Solaris, 2019). Dalam pandangan psikolog Pratiwi Anjarsari, S.Psi., M.Psi., setiap cerita yang dibagikan seseorang selalu memiliki emosi di baliknya. Emosi negatif sangat wajar dan manusiawi. Namun, perasaan tersebut dapat menjadi berbahaya apabila ditekan atau diabaikan. Terdapat kondisi ketika kita tidak mampu menimbang dengan bijak. Kadang kala terasa sulit untuk berpikir jernih ketika seluruh emosi bercampur padu membelenggu batin kita.

Pratiwi menilai, penting untuk menjadi saluran bagi teman-teman dalam masa sulit. Tidak hanya berperan sebagai anggota keluarga, kita juga memegang peranan signifikan sebagai teman, sahabat, maupun rekan kerja. Sederhananya, hadir sebagai pendengar ketika cerita itu hendak dicurahkan. Ibarat membuka sebuah saluran bagi sesak ruang yang nyaris meluap.

Setiap orang punya cara berbeda untuk meredam emosi. Ada yang memilih menyendiri, mengobrol bersama orang lain, atau melakukan aktivitas tertentu. Tetapi, yang terpenting adalah mengenali pendekatan paling efektif bagi diri sendiri. Dengan memprosesnya, tingkat sensitivitas seseorang dapat berangsur melemah, sehingga tidak mudah terpicu oleh hal kecil. Sewaktu emosi mereda, benak kita biasanya mampu berpikir lebih jernih. Karenanya, kita bisa melihat situasi dengan lebih rasional, menyadari kesalahan persepsi, dan mencari solusi.

Secara garis besarnya, ambil jeda sejenak untuk tenangkan diri, kemudian barulah berpikir dan memutuskan sebuah tindakan dengan bijak. Meski mungkin berbagai tuntutan yang hadir sering kali membuat seseorang ‘melompat’ melewati proses ini, merasa harus mampu melakukan ini dan itu, tanpa memberi ruang untuk benar-benar memahami perasaan yang sedang dialami. Mengakui emosi negatif adalah langkah awal untuk pulih dari trauma dan luka batin. Pratiwi berpesan, “Seseorang mungkin memperingatkanmu agar selalu melihat sisi terang, namun perlu kamu ingat bahwa mengenali sisi gelap juga penting.”

Dengan menarik diri sejenak, itulah tahap pertama untuk benar-benar melangkah maju.

Daftar Pustaka

Salopek, A. H., & Eastin, M. S. (2024). Toxic positivity intentions: An image management approach to upward social comparison and false self-presentation. Journal of Computer-Mediated Communication, 29(3). https://academic.oup.com/jcmc/article/29/3/zmae003/7682448

Apriyanto, A., & Hidayati, L. (2025). Evolusi toxic positivity dalam penelitian kesehatan mental. Sanskara: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2(2). https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/sish/article/download/547/281/3035

Harper, C. (2020, January). Toxic positivity and its impact on our mental health. MyWellbeing. https://mywellbeing.com/ask-a-therapist/toxic-positivity-and-mental-health

Career and Student Development Unit FEB UGM. (2025, April 29). Positif terus? Toxic positivity bisa bikin kita stres, lho! Career and Student Development Unit FEB UGM. https://karir.feb.ugm.ac.id/2025/04/29/positif-terus-toxic-positivity-bisa-bikin-kita-stres-lho/