PENTAHELIX-BATIK 2025 : Menenun Tradisi, Menyulam Inovasi
Diterbitkan pada: 05 November 2025 Reporter: Valencia Diandra Syalomita, Felita Gazella Hartoyo, Angelica Feliciona Theritno Fotografer: Ryco Elka Chandra, Agatha Nadya Christie, Tim Dokumentasi Library at PCU
Dalam memperingati Hari Batik Nasional, Petra Christian University (PCU) menggelar pameran batik di Perpustakaan, Lantai 6, Gedung Radius Prawiro. Pameran diadakan selama bulan Oktober sampai awal bulan November, tepatnya pada Rabu (01/10/2025) hingga Sabtu (01/11/2025).
Pameran ini mengusung tema ‘Memetik Pucuk Batik’ yang lahir dari gagasan kesinambungan. Budaya membatik merupakan bentangan kisah, sejarah, dan jejak tradisi yang diwariskan lintas generasi.
Kata ‘memetik’ melambangkan tindakan generasi kini dalam memanen buah dari pohon yang telah ditanam generasi sebelumnya. Sementara, ‘pucuk’ menyimbolkan tunas muda yang meneruskan tradisi dengan caranya sendiri.
Memetik Pucuk Batik menampilkan dua wajah batik yang saling melengkapi, yakni Batik Belanda dan Batik Dolly. Batik Belanda mencerminkan pengaruh Eropa dalam budaya Indonesia pada masa kolonial Belanda. Batik jenis ini menampilkan perpaduan estetika Jawa dengan unsur visual Eropa yang kuat.
Ketua penyelenggara, Dr. Aniendya Christianna, S.Sn., M.Med.Kom. memaparkan, “Batik-batik yang ada di Indonesia sebagian besar itu motifnya flora dan fauna.” Ia menuturkan, pengaruh Eropa tampak melalui motif tokoh Snow White dan Cinderella yang diadaptasi dalam batik. Terdapat pula motif berbentuk kapal perang, mahkota, dan elemen kehidupan Eropa lainnya.
Di sisi lain, Batik Dolly lahir sebagai wujud kreativitas dari proses pemberdayaan masyarakat di kawasan Kampung Dolly, Surabaya. Wilayah ini mengalami transformasi sosial dan budaya setelah melalui fase kelam dalam sejarahnya. Melalui pendampingan dosen dan mahasiswa PCU, masyarakat setempat dibina untuk mengembangkan potensi seni dan ekonomi lokal melalui membatik.
Dalam gelar wicara ini, hadir pula lima narasumber yang ikut memberikan pemaparan terkait perkembangan batik. Drs. Gatut Priyowidodo, PhD., menyoroti peran masyarakat sebagai pencipta nilai budaya melalui museum batik. Museum menjadi wadah sekaligus penghubung antara masa lalu dan masa kini yang patut dilestarikan. Dr. Ido Prijana Hadi, M.Si., turut menambahkan adanya teknologi di masa kini mempermudah masyarakat mengakses isi museum. Dengan demikian, generasi muda dapat memanfaatkannya untuk melestarikan batik dan nilai budaya.
Anik Rakhmawati, M.Pd. menegaskan, batik adalah identitas dan kesatuan bangsa yang memiliki nilai serta makna berharga. Selain itu, batik dapat digunakan secara luas karena memiliki gaya yang santun dan elegan.
Ada pula kisah di balik Batik Dolly yang turut membuktikan, batik tumbuh melalui kolaborasi, semangat, dan doa. Pepatah dari suku Sumba mengatakan, "Jika tidak bertenun, maka matilah suku mereka." Hal ini berhubungan dengan warga Dolly yang menganggap batik tidak hanya sebagai kain. Namun juga martabat dan kebanggaan kampung mereka. Silvia Ratnani, Shi., perwakilan industri kreatif inovasi Batik Dolly mengatakan, pemberdayaan tidak harus dari tempat yang sempurna, melainkan dari niat.
Batik telah melalui berbagai proses perkembangan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Produksi, tenun, dan hasil batik saat ini sudah semakin baik. Sayangnya, masyarakat memiliki keterbatasan dalam keterampilan untuk mempromosikan batik. Karena itu, Dr. Ir. Lintu Tulisyantoro, M.Ds., berharap adanya pendampingan dan dukungan masyarakat agar batik terus lestari.
Acara ini bertujuan memperkenalkan hasil riset penyelenggara selaku kontributor dalam pengembangan dan penyebaran karya batik kepada masyarakat luas. Pelaksanaannya sekaligus mewadahi apresiasi, edukasi, dan pelestarian budaya batik melalui kolaborasi antara akademisi dan masyarakat.