Click me

Stan I’m Not Trash di area Food Society Pakuwon Mall.

Salah satu pengunjung yang sedang menikmati waktunya mengecat patung kayu.

Hasil dari patung yang sudah diwarnai pada stan I’m Not Trash.

Kaylee, sang pemilik sedang merapikan patung-patung pada rak.

Kayu, Kuas, dan Aneka Warna

Valencia Kristanto

Warna, tawa, dan kreativitas. Sebuah stan dengan berbagai patung kayu nampak di area Food Society Pakuwon Mall, ramai oleh pelajar yang bertandang selepas kelas. Di kala banyak bisnis ambruk karena pandemi, Kaylee Stefanoline malah bisa merintis miliknya. I’m Not Trash menawarkan pengalaman melukis hasil daur ulang kayu bekas. Kayu yang sudah digiling dan dicetak kembali dapat menjadi patung dan dekorasi bernilai jual. Kaylee mendapat ide untuk mendaur ulang ketika melihat banyaknya sisa kayu yang tergeletak dari pekerjaan ayahnya. Perempuan berusia lima belas tahun ini ingin berdampak bagi lingkungan sekitarnya. Selain mendaur ulang kayu, gadis yang lebih akrab disebut Kay ini juga berharap suatu hari bisa mulai mendaur ulang kantong dan botol plastik.

Goretan kuas dan cat pada patung kayu.

Pengeringan patung kayu oleh dryer.

Pengunjung yang sedang memilih warna sebelum mulai mengecat.

Potret kebersamaan antara seorang ibu dan anak saat sedang mewarnai patung kayu.

Sebuah bengkel ban bekas di kawasan Jalan Bibis.

Potret salah satu pekerja menyusun bak yang sudah selesai diwarnai.

Pancaran Cahaya dari Ban Bekas

Graciella Kusnanto

Sekumpulan ban bekas terpajang di depan bengkel produksi di Jalan Bibis. Bagi sebagian orang, ban bekas mungkin tidak bernilai. Namun, pandangan itu tidak berlaku bagi Mat Hason yang melihat ban bekas dari sisi lain. Bermula di tahun 1980, pria paruh baya ini meneruskan usaha keluarga mendaur ulang dan memproduksi bak sampah dari ban bekas di Jalan Bibis. Berkat ketekunannya, kini ia menerima ratusan hingga ribuan pesanan yang membuat Jalan Bibis dikenal sebagai pusat bak sampah karet.

Proses pengecatan ban bekas menggunakan cat warna - warni.

Bak sampah terpajang di sepanjang kawasan Jalan Waspada.

Umar menguliti ban bekas menggunakan celurit untuk diambil lapisan karetnya.

Tangan salah satu pengrajin memoles bak sampah dengan kuas halus.

Bu Eka dan anaknya menyiapkan hasil-hasil karya untuk pameran.

Alat dan bahan yang sering digunakan oleh Decak Handmade.

Anak Bu Eka yang membantu Ibunya untuk menjahit karya tas.

Bu Eka memeriksa kembali karya baju dari kain bekas.

Merajut Kembali Dunia

Devon Ewaldo

Di zaman modern ini, banyak sekali limbah kain berhamburan dan dibiarkan begitu saja. Eka, seorang ibu yang hobi menjahit sejak remaja, memiliki ide untuk mendaur ulang kain terbuang. Aktif meniti karir sejak 2018, Decak Handmade merupakan sebuah perusahaan daur ulang kain bekas. Berawal dari hobi dan donasi eksternal, tak disangka Eka dapat mengolah limbah kain dengan berbagai cara agar menjadi komoditas. Sampah menjadi karya di tangannya. Meski berada di titik terendah, kita dan dunia harus bangkit dan pulih kembali. Menurutnya, proses daur ulang membantu memulihkan dunia yang sudah terlampau sakit karena sampah dari manusia.

Bu Eka memotong kain untuk membuat karya sarung bantal.

Mesin jahit kesayangan yang sering digunakan Bu Eka untuk membuat karya-karyanya.

Nawasena

"Hampir setengah windu berlalu..."