Waktu dan Kenangan

“Tiap detik yang kita lalui dalam hidup adalah perjalanan. Setiap perjalanan yang kita lewati menyisakan sebuah kenangan.”

Berbagai kisah berharga sering kali tersimpan di tempat-tempat yang berhubungan erat dengan masyarakat. Dalam setiap cerita, tercantum rangkaian peristiwa yang penuh makna. Semua peristiwa yang terekam memiliki sejumlah rasa dan menyisakan ribuan kenangan. Berikut adalah kisah dari beberapa tempat yang menyimpan banyak kenangan dan masih bertahan di tengah pesatnya perkembangan era digital.
Pasar Gede Hardjonagoro merupakan pasar tradisional Kota Solo yang masih bertahan di tengah ingar bingar digitalisasi. Berdiri sejak tahun 1930, pasar tradisional yang selalu ditemani oleh sebuah tugu jam ini merupakan bagian dari cagar budaya Kota Solo. Selama 91 tahun, tempat ini turut menjadi kotak memori atas segala kenangan wong Solo. Tidak hanya itu, pasar yang dikenal sebagai pusat kuliner khas Jawa Tengah ini, kerap menjadi tempat perayaan hari besar seperti pergantian tahun dan hari raya Imlek.
Hingga kini, masih banyak pedagang jajanan tradisional khas Jawa Tengah di kawasan Pasar Gede. Salah satunya Citro, pedagang tahok—makanan khas Kota Solo—yang telah memulai usahanya sejak tahun 1967. Berkelana di Kota Solo sendirian untuk mencari pelanggan hingga bertemu pasangan hidup, merupakan secarik kenangan yang telah diukirnya. Penurunan omzet di kala pandemi COVID-19 bukanlah penghalang baginya untuk tetap bekerja keras. Sedari subuh, ia sudah menyiapkan dagangan untuk dijual pada pagi harinya. Hal itu sejalan dengan bagaimana ia memaknai dan menghargai waktu di usia yang sudah sepuh ini.
Apabila Kota Solo memiliki Pasar Gede Hardjonagoro, Kota Denpasar memiliki Jalan Gajah Mada yang menyimpan sejumlah kenangan. Di tengah perkembangan zaman, kawasan yang menjadi ikon kota tua ini tetap mempertahankan identitas aslinya. Dari bangunan hingga kehidupan perekonomian, jalan ini masih menyimpan nuansa klasik yang dapat membangkitkan kenangan pengunjung akan suasana kota lama Denpasar. Arsitektur pertokoan yang ada tetap menyisakan bentuk aslinya walau telah melalui beberapa perubahan. Berkat kekayaan sejarah yang dimilikinya, kawasan Jalan Gajah Mada pun tetap bertahan hingga sekarang.
Sarat budaya, Jalan Gajah Mada ditetapkan sebagai warisan budaya sejak awal Desember 2008. Pasalnya, kawasan ini sudah menjadi simpul perekonomian bagi pedagang dari berbagai etnis—seperti etnis Tionghoa, Arab, dan India—sejak sebelum Kemerdekaan Indonesia. Sebagai pusat niaga ibu kota, jalan ini tak pernah redup, bahkan di tengah peliknya pandemi. Agustiaji—seorang pemilik toko perlengkapan bayi—adalah salah satu orang yang bertumpu pada kawasan ini sebagai sarana penyambung hidup. Toko kecil yang dirintis di ruas jalanan ini menjadi saksi bisu langkah Agus dalam memulihkan kondisi finansial keluarganya. Agus hanyalah salah satu dari sekian orang yang turut mengukir kisahnya di jalan ini. Rupanya, kisah merekalah yang menjadi bekal kenangan di Jalan Gajah Mada.
“Tetap ada walau dimakan waktu”, itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bangunan sepuh yang ada di Jalan Banyu Urip Wetan, Surabaya. Bangunan yang kerap disapa Gedung Setan ini memiliki setumpuk kenangan yang berharga. Dibangun tahun 1809, gedung ini awalnya berfungsi sebagai kantor Gubernur Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) daerah Jawa Timur. Setelah VOC lengser dari Indonesia, bangunan ini beralih fungsi menjadi tempat tinggal masyarakat etnis Tionghoa yang menjadi korban pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948. Hingga kini, Gedung Setan menjadi rumah bagi banyak keluarga hingga generasi keempat.
Di masa pandemi, kurang lebih 58 keluarga harus hidup secara berdampingan dan menjalankan protokol kesehatan dalam satu atap. Dampak yang dirasakan pun cukup signifikan, terutama di bidang ekonomi. Sebagai akibatnya, banyak warga harus menganggur. "Banyak donatur yang memberikan sumbangan kepada kami, dan warga di sini terus mengupayakan segala cara untuk bekerja, seperti menjadi ojek online,” ujar Sutikno Djianto, Ketua Pengurus Gedung Setan generasi ketiga. Ribuan cerita dan terjalnya kehidupan, dilewati bersama-sama oleh seluruh keluarga—pandemi merupakan salah satunya. Gedung Setan menjadi tempat berlindung dan bernaung, di setiap peristiwa, setiap kondisi, dan setiap waktu.
Setiap tempat memiliki makna dan cerita tersendiri bagi masing-masing individu. Suatu tempat yang dipandang biasa, nyatanya memiliki kenangan bagi mereka yang menuliskan kisahnya. Dalam tiap kisah, tersemat sejarah yang mengandung setumpuk memori. Sejarah ada bukan untuk dilupakan, melainkan untuk dijadikan teman di sepanjang perjalanan. Kenangan hadir sebagai pengingat bagi tiap manusia untuk terus melangkah dan menoreh kisah baru.
×
×