Sesungguhnya, waktu adalah bagian dari proses perjalanan hidup menuju masa depan. Ia terus berjalan,
lajunya tidak dapat dihentikan, dan mundur bukanlah pilihan. Mengintip masa depan pun berada di luar
batas kemampuan. Namun alih-alih berpangku tangan, manusia menggunakan waktu sebaik mungkin karena
ada hal-hal yang harus diperjuangkan.
Dalam setiap perjuangan, harapanlah yang menjadi bekal untuk melampaui segala keadaan. Harapan pula
yang menjadi motivasi untuk tetap bertahan, memanfaatkan setiap kesempatan demi membangun masa
depan. Inilah cerita mereka yang berpaut pada pengharapan, menjawab panggilan untuk menjadi tumpuan
bagi mereka yang membutuhkan.
Sudah hampir setengah hidupnya, Aji Sandaya menjalani panggilan sebagai seorang guru. “Salah satu
bentuk kebahagiaan yang saya nikmati adalah ketika saya dapat membagikan apa yang saya punya kepada
orang lain,” ucap Aji ketika menceritakan awal perjalanannya sebagai seorang guru. Pria lulusan
Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya (UNESA) ini memang sudah memiliki ketertarikan di
bidang pendidikan sejak duduk di bangku SMA. Dimulai dengan menjadi guru seni rupa anak-anak pada
2002, kini Aji sudah menjadi guru seni rupa di SMA Cita Hati East Campus Surabaya selama 15 tahun.
Setelah menggeluti profesi ini selama hampir dua dekade, Aji mengaku prosesnya tidaklah mudah.
Tantangan terbesar yang harus ia hadapi adalah mengendalikan emosi, mengingat pekerjaannya sebagai
guru menuntutnya untuk berhadapan dengan beragam kepribadian sehari-hari. Terlebih selama pandemi,
ia harus beradaptasi dengan “ruang kelas” baru yang membatasi interaksinya dengan murid-muridnya.
Hanya saja, proses yang ia lalui tetap tidak menjamin hasilnya. “Guru tidak selalu bisa menikmati
hasil dari apa yang mereka tabur sekarang,” ujar Aji. Meski begitu, ia berharap setidaknya ada biji
yang jatuh di tanah yang subur, dan tumbuh—bahkan menghasilkan buah nantinya. Harapannya, buah itu
kemudian menjadi bekal untuk generasi berikutnya—dan harapan inilah yang memberinya alasan untuk
terus mengajar.
Sama seperti Aji, perjalanan Handoko sebagai seorang pendongeng juga berawal dari ketertarikan
pribadinya—namun bukan dalam dunia pendidikan, melainkan dunia literasi. Kegemarannya inilah yang
menjadi pijakan awal sang pejuang literasi bersama boneka tangannya sembilan tahun silam.
Keinginannya membantu orang lain merupakan fondasi perjuangannya dalam menggiatkan literasi,
terutama di kalangan anak-anak Surabaya. Menurut pria yang sehari-hari bekerja di Dinas Perpustakaan
dan Kearsipan Kota Surabaya ini, anak-anak ibarat sebuah pohon yang jika disiram dengan baik maka
akan tumbuh dengan subur. Hanya saja, membudayakan literasi di zaman ini tidak semudah menanam
pohon. Kegandrungan anak-anak pada gawailah yang menjadi musuh terbesar dalam perjuangan ini. Meski
begitu, hal ini bukan menjadi alasan bagi Handoko untuk berhenti berjuang menghasilkan insan muda
yang kaya literasi.
Berkat dedikasinya yang tinggi, Handoko berhasil memulai sebuah gerakan literasi sejarah dan budaya
Kota Surabaya, yakni Aksi Sebaya pada tahun 2016. Kegiatan Aksi Sebaya meliputi edukasi literasi dan
rumah baca—di Jalan Banyu Urip Wetan 5-I No. 11, Surabaya—yang terbuka untuk umum. Awalnya, rumah
baca tersebut hanyalah angan-angan semata sebelum akhirnya menjadi kenyataan pada tahun 2019. Selain
berfungsi sebagai rumah baca, tempat ini juga digunakan sebagai wadah bagi anak-anak untuk
mengembangkan potensi diri mereka. Mungkin saat ini dampaknya belum terasa. Namun, besar harapan
Handoko agar nantinya gerakan ini dapat menggema hingga ke generasi-generasi yang akan datang.
Tak hanya berfokus pada generasi mendatang, generasi saat ini juga membutuhkan teladan. Berawal dari
kegiatan sosial yang sederhana, Youth Social Project (YSP) hadir untuk menjadi teladan bagi
anak-anak muda saat ini. “Awal terbentuknya Youth Social Project karena galau,” ucap Nadya, penggiat
gerakan tersebut. Dahulu, Nadya sering merasa galau ketika menghadapi masalah kehidupannya.
Alih-alih terlarut dalam perasaannya, ia ingin menggunakan waktunya untuk melakukan sesuatu yang
berdampak positif bagi orang lain. Ia pun membentuk komunitas YSP secara resmi pada Januari 2019.
Bentuk kegiatan YSP sendiri berupa pemberian bantuan uang, sembako, dan goodie bag kepada orang yang
membutuhkan, seperti tunawisma serta yatim piatu di daerah Surabaya—Sidoarjo. Setelah dua tahun
berdiri, YSP kini telah menjadi wadah bagi anak-anak muda untuk meningkatkan kepedulian sosial.
Komunitas YSP terbuka bagi setiap anak muda yang ingin bergabung menjadi sukarelawan maupun donatur.
Keterbukaan ini sejalan dengan mudahnya ketentuan menjadi bagian dari komunitas tersebut. Nadya
mengatakan, “Anak-anak bisa meningkatkan keterampilan sosial dan rasa percaya mereka.” Melalui
kehadiran YSP, Nadya berharap, lebih banyak anak muda yang menggunakan waktunya untuk peduli
terhadap orang-orang di sekitar mereka—terutama masyarakat yang kurang mampu. Makin banyak anak yang
berpartisipasi, makin banyak pula orang yang dapat dijangkau. Dalam lubuk hatinya, ia percaya bahwa
anak muda merupakan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Pada akhirnya, semua cerita berawal dari harapan—Aji memilih untuk terus mengajar, Handoko
mencetuskan Aksi Sebaya, dan Nadya menciptakan sebuah gerakan. Harapanlah yang mendorong mereka
untuk mengulurkan tangan demi berbagi kebaikan dan mengambil pilihan untuk menjawab panggilan. Meski
tahu waktu terus berjalan, mereka tetap menyediakan ruang agar asa dapat selalu tersalurkan.
Perjalanan Aji, Handoko, dan Nadya yang berpaut pada pengharapan pun meninggalkan sebuah pelajaran,
“Sedikit waktu yang kita sisihkan bisa menjadi harapan bagi masa depan.”