Waktu dan Warisan

“Warisan merupakan suatu anugerah yang tidak akan sirna, meski ditelan oleh waktu yang selalu berubah.”

Esensi waktu yang absolut membuat manusia sadar, waktu selalu berjalan maju—menenggelamkan segala sesuatu yang terbawa arus. Namun tanpa disadari, timbul setitik warisan yang mencoba bertahan melawan derasnya arus, seakan memberi pesan bagi generasi penerus. Pesan ini juga kelak membawa kesan dan makna bagi mereka yang turut mempertahankan warisan agar tak terputus.
Tak dapat disangkal, wayang merupakan kebudayaan asli Indonesia. Namun, eksistensi wayang kini cukup memprihatinkan lantaran sedikit demi sedikit tergerus oleh derasnya aliran waktu. Di daerah Jawa Timur sendiri—khususnya Surabaya—jumlah penatah wayang maupun dalang masih dapat dihitung dengan jari. Padahal, warisan bangsa ini harus dijaga agar generasi kelak dapat tetap mengenal wujud wayang yang autentik. Hal inilah yang menginspirasi Danar Dwi Putra—atau yang kerap disapa Danar—untuk melestarikan wayang dengan membuat ulang wayang yang sudah usang.
Danar sudah mengenal wayang sejak kecil, karena leluhurnya merupakan seorang dalang. Namun, hal ini tak semata-mata membuat Danar menyukai wayang. Ketertarikannya akan wayang tumbuh ketika ia memasuki masa perkuliahan. “Kalau orang senang itu ya tidak bisa dijelaskan rasanya kenapa,” tutur Danar ketika ditanya alasannya menggemari wayang. Sejak saat itu, Danar mulai mempelajari seluk-beluk dunia pewayangan. Hingga kini, ia telah mengoleksi sekitar seratus jenis wayang dengan bermacam ukuran. Tanpa disadari, Danar pun menjadi penghubung antar generasi, menjaga warisan budaya yang telah berakar selama ribuan tahun.
Tak jauh berbeda, Reza Akhmadi juga ingin meneruskan warisan yang ia miliki—yaitu fotografi analog. Era digitalisasi yang makin pesat menghadirkan inovasi dalam berbagai bidang, tak terkecuali fotografi yang kini makin instan dan cepat. Kemunculan kamera digital dengan segala kemudahannya membuat kamera analog kian lama kian ditinggalkan oleh penggiat fotografi. Waktu pemrosesan foto yang lama dan biaya yang tidak murah adalah sekian dari banyak alasan orang beralih dari kamera analog ke kamera digital. Namun, alasan-alasan ini tidak menyurutkan kecintaan beberapa orang dalam mempertahankan fotografi analog, Reza Akhmadi salah satunya.
Reza Akhmadi atau lebih akrab disapa Reza merupakan salah satu penggiat fotografi analog asal Balikpapan. Perjumpaannya dengan fotografi analog bermula ketika dirinya berkuliah di salah satu universitas di Kota Malang. Kini, lebih dari satu dekade Reza sudah menekuni hobinya tersebut. Ia sangat sadar fotografi analog kian hari kian redup eksistensinya akibat tergerus oleh waktu. Bersama komunitas yang ia ikuti, yakni BPN Analog, Reza berupaya merawat fotografi analog agar tidak hilang begitu saja dan masih dapat dirasakan oleh generasi mendatang.
Waktu terus bergerak, budaya terus berkembang—yang tradisional pun mulai tergantikan dengan yang lebih modern. Seperti itu pula masyarakat mulai meninggalkan tari tradisional. Tari tradisional tak lagi diminati karena banyaknya aturan yang membuatnya sulit untuk dikembangkan. Namun, bagi Mina Mella Restuaffina, aturan tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Berawal dari ketertarikannya pada tari jaipong, ia akhirnya mendirikan Sanggar Tari Kalangkang Gumiwang di Bandung sebagai upaya melestarikan budaya tersebut. Sanggar yang didirikannya saat masih di bangku perkuliahan itu berhasil memopulerkan tari jaipong hingga ke tingkat internasional.
Saat pandemi, Mina mengalami banyak badai kehidupan, salah satunya murid-murid Mina yang berhenti dengan berbagai alasan. Padahal, ia selalu berpesan, “Cintai budayamu sejak dini. Jangan sampai hilang budaya kita.” Rasa sedih tentu muncul ketika pesan yang ingin ia wariskan ini hilang tanpa jejak. Meski begitu, Mina tetap memiliki keinginan besar agar ada bagian dari budaya tradisional yang diwariskan serta membekas di hati anak didiknya.
Waktu akan terus berjalan maju, merubah segalanya tanpa memandang bulu. Zaman akan terus berubah, barang tradisional perlahan akan musnah. Namun hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Haji Sohim, seorang pengrajin kayu asal Kota Magelang. Berawal dari sebuah hobi, ia pun membangun usaha kerajinan kayu yang kini banyak diminati. Melalui usahanya, Sohim memiliki tekad yang kuat untuk mempertahankan budaya tradisional. Keterampilan yang ia miliki tak disia-siakan begitu saja, meski tantangan dalam menjalankan usahanya tidak ringan.
Sohim mendirikan usaha kerajinan kayu pada tahun 1990 yang masih bertahan hingga sekarang. Bahan dasar yang digunakan berupa kayu pinus, jati, hingga tanduk hewan. Bahan-bahan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggan. Jerih payah Sohim pun akhirnya berbuah manis ketika ia menerima pelanggan yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Kreasi dan kreativitas bentuk kerajinan terus ia kembangkan, agar tidak ketinggalan oleh zaman. Dari usahanya, Sohim membuktikan bahwa produk tradisional masih layak bertahan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang.
Menjaga warisan bukanlah hal yang mudah, karena tiap warisan menorehkan cerita senang maupun susah bagi mereka yang bersinggah. Insan-insan tadi—Danar, Mina, Reza, dan Sohim—mungkin meneruskan warisan yang berbeda. Namun, satu hal yang pasti, usaha mereka dalam menjaga warisannya masing-masing penuh dengan berbagai kisah. Banyak yang mencoba, banyak juga yang pasrah. Namun, bagi empat orang yang tak kenal kata menyerah ini, warisan merupakan suatu anugerah yang tidak akan sirna, meski ditelan oleh waktu yang selalu berubah.
×
×