Kapan Aku Bisa Melihat Terang?

“Penyandang tunanetra butuh diberikan kesempatan bukan dikasihani,” cetus Tutus Setiawan salah satu pendiri Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) bersama empat temannya sesama tunanetra, yaitu Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani dan Yoto Pribadi. Perjalanan hidup para penyandang disabilitas (khususnya tunanetra) memang tidak mudah. Mereka sering kali menjadi korban diskriminasi hampir di segala bidang, mulai dari pekerjaan, aksesibilitas, bahkan dalam ranah pendidikan.
Perjuangan untuk dapat mendirikan LPT tidak semudah membalikkan telapak tangan. Empat pria ini secara sukarela beriuran dua puluh ribu rupiah perorang pada awal pendirian lembaga tersebut setiap membutuhkan biaya untuk membuat proposal lembaga, biaya fotokopi, administrasi hingga transportasi demi bisa mendirikan lembaga yang unik karena didirikan oleh sekelompok tunanetra ini.
LPT ini bersifat sukarela, mereka memberikan bimbingan belajar juga pelatihan khusus untuk tunanetra tanpa dipungut biaya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Tutus bekerja di Sekolah Luar Biasa Tipe A Yayasan Pendidikan Anak Buta (SLB-A YPAB), Surabaya. Di SLB ini, siswa penyandang disabilitas diajari berbagai hal, mulai dari komputer bicara, jurnalistik, hingga musik. Komputer bicara ini digunakan untuk membantu kaum disabilitas yang memiliki kemampuan intelektual normal agar bisa melanjutkan pendidikan di sekolah biasa. Semua itu dilakukan dengan harapan agar tunanetra memiliki kemampuan yang mumpuni dan tidak hanya bekerja di sektor informal.
“Sekarang fasilitas untuk tunanetra sudah banyak. Kalau anak tunanetra masih kurang berprestasi, salah tunanetranya itu sendiri,” tegas Tutus. Sangat banyak usaha yang diperjuangkan oleh Tutus agar bisa setara dengan orang normal. “Kita sudah menyusun beberapa rancangan draf untuk pendidikan teman - teman kita yang disabilitas, tapi sayangnya sudah tiga kali surat audensi ke walikota dan tidak dibalas,” kisahnya. Namun Tutus tak putus asa dan terus memperjuangkan surat audiensi yang berisi draf pendidikan anak disabilitas melalui berbagai cara, seperti melaporkan ke Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Di tengah segala keterbatasan yang ia miliki, Tutus rela meninggalkan zona nyamannya untuk mewakili kaum tunanetra dalam meraih kesetaraan dalam hak pendidikan. Pak Tutus telah menjadi inspirasi bagi mereka yang memiliki keterbatasan untuk mau berjuang demi kaumnya, agar tidak dipandang sebelah mata dan dilihat setara. Jika Tutus dan kawan-kawan bisa, mengapa kita tidak?
×
×
×