Pekan Buku Sruntul Vol.3: Apa Kata Mereka?

Fotografer: Terrence Cornellius & Sruntulisme

Pekan Buku Sruntul Vol.3: Apa Kata Mereka?

Reporter: Belinda Averina

Mengakhiri tiga hari penuh kebersamaan dan kehangatan, pekan buku Sruntul menjadi kenangan terindah pada malam Minggu (04/09/2024) bagi komunitas Sruntulisme. Diadakannya acara ini menuai banyak tanggapan positif terhadap komunitas sastra Sruntulisme. Tanggapan itu datang dari narasumber dan peserta yang terlibat dalam acara. Mereka juga menyampaikan konklusi kritis terhadap perkembangan dunia sastra dan literasi di tengah era digitalisasi Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa sastra dan literasi merupakan hal yang membosankan dan sulit. Padahal, sastra hidup dari sejarah yang ditanamkan Indonesia sejak zaman penjajahan.

Hal ini diungkapkan oleh Kyota Hamzah, salah satu anggota dari komunitas Forum Lingkar Pena Sidoarjo. Kyota menjelaskan bahwa “mbah-mbah” kita zaman dulu itu selalu mendongeng dan dongeng itu salah satu bentuk literasi yang diturunkan turun temurun. Sastra sendiri merupakan salah satu alat untuk merawat pengetahuan masa lalu itu agar generasi selanjutnya tidak kehilangan jati dirinya. “Kita bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman tapi kita tidak bisa hidup tanpa identitas kita, ya dari sejarah kita itu. Dan sastra adalah salah satu kian yang merekam sejarah masa lalu kita. Mau tidak mau, budaya tutur itu harus ada dan salah satunya seperti puisi, dongeng”, ujarnya. Jika ditarik ke depan, adanya komunitas sastra ataupun literasi mendorong penulis untuk berkarya tanpa batasan ruang yang muncul di tahun 2000 saat internet masih baru.

Sekarang, generasi muda pun bisa menjadikan teknologi sebagai media untuk memperkenalkan karya sastra mereka ke masyarakat lebih luas. Menurut Dr. Phil. Mohammad Rokib, M.A. (Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya), salah satu narasumber diskusi sastra bertemakan cyber sastra, menyatakan bahwa perkembangan teknologi tidak sepenuhnya memberikan dampak buruk kepada dunia sastra dan literasi. Justru menjadikan dunia sastra dan literasi sebagai jembatan untuk generasi muda menyampaikan gagasan yang bisa meningkatkan minat literasi di Indonesia. Namun, perkembangan kedua dunia ini tentu memiliki tantangannya.

M. Rosyid HW (penulis buku), salah satu narasumber bedah buku cerita pendek, menyampaikan bahwa salah satu tantangan terbesar kedua dunia ini adalah distribusi buku yang kecil ke toko-toko buku. Situasi ini menjadi faktor keberlanjutan dimana masyarakat kelas atas bisa membeli buku sedangkan kelas bawah kurang memiliki akses untuk membeli serta membaca buku. Bahkan istilah “Surabaya Kota Literasi” hanyalah branding fana apabila masyarakat Surabaya sendiri tidak mengantisipasi atas pernyataan tersebut. Sebuah cerita yang diungkapkan oleh Enya Rahman (Founder Soerabaca Bookclub), salah satu narasumber diskusi sastra bertemakan komunitas pembaca pada Minggu (04/08/2024), bahwa ia bersama teman-teman komunitas melakukan “baca bersama” di salah satu ruang publik. Namun, keamanan setempat melarang mereka untuk melakukan aktivitas itu dan memakai area itu.

“Kan ruang publik. Selama kegiatan yang kita lakukan itu kegiatan positif, kenapa dilarang? Apalagi ini berhubungan dengan literasi”, ujar Enya. Menurut Enya, faktor keluarga merupakan hal penting, orang tua harus memiliki minat literasi sehingga anaknya terdorong. Misal, orang tua bisa menemani anak mereka untuk membaca buku yang anak mereka sukai setiap harinya. Salah satu pelapak buku di pekan buku Sruntul, Muhammad Dliya Kamil (toko buku SawijiBook’s), berpendapat bahwa generasi muda harus memiliki pemikiran kritis dan daya imajinasi yang tinggi agar mereka bisa memberikan kontribusi kepada Indonesia melalui sastra dan literasi.

Mutiara Azzahra, seorang siswi asal Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 3 Surabaya yang mengikuti lomba baca puisi pada Jumat (02/08/2024), menyetujui pemikiran tersebut. Mutiara memiliki harapan agar buku-buku di perpustakaan offline maupun online diperbaharui agar sesuai dengan minat generasi muda sekarang. Selain itu, Mutiara memberikan nasehat untuk generasi muda agar tidak sekedar membaca tapi mencerna amanat dari apa yang telah dibaca. “Baca, resapi, praktekkan. Selain itu, kita sesama gen z juga harus bekerja sama untuk menumbuhkan minat literasi di Indonesia,” ujar Mutiara menutup wawancara.

About the author /