Merakit Toleransi di Tengah Akulturasi

Fotografer: Vanessa Nelwan

Merakit Toleransi di Tengah Akulturasi

Oleh: Felicia Ongkojoyo

Bukan hanya sebagai simbol, nilai yang terkandung dalam Pancasila haruslah dimengerti dan diaplikasikan dalam kehidupan. Untuk mewujudkan hal itu, tim Departemen Mata Kuliah Umum (DMU) Universitas Kristen (UK) Petra mengadakan kegiatan studi lapangan. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan mahasiswa pada penerapan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, khususnya melalui rumah ibadah. Kegiatan rancangan tim DMU ini merupakan bagian dari program kelas pendek selama dua minggu yang menargetkan calon pemimpin Lembaga Kemahasiswaan (LK) sebagai pesertanya. Hariyanto, S.Psi., M.Pd. selaku Koordinator Mata Kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan DMU berharap, peserta dapat merancang kegiatan LK untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme mahasiswa.  

Kamis (20/01/2022), kegiatan diikuti secara langsung oleh 22 mahasiswa yang sedang magang di LK Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa (Hima), dan mereka yang telah mengikuti seminar Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM). Sekitar pukul 13.00 WIB, mahasiswa didampingi oleh Dr. Linda Bustan S.Th., M.Div. selaku Ketua DMU dan Hariyanto berkunjung ke Gereja Kristen Tionghoa. Sesampainya di tujuan, Taming Husada, Lukas Santoso, Handoyo Yonoatmojo, dan Daniel Gunarto selaku perwakilan gereja menceritakan sejarah terbentuknya gereja yang berdiri sejak 1909 ini. Terdaftar dengan nama Gereja Kristus Tuhan (GKT), gereja ini menjadi saksi meleburnya empat dialek asal Tionghoa dalam satu bangunan. Keempat kelompok dialek, yaitu Hokkian, Kanton, Fuzhou-Kuoyu, dan Hinghwa kini berkembang dan terpecah di lokasi yang berbeda-beda. 

Pada perhentian kedua, mahasiswa mengunjungi enam rumah ibadah yang dibangun berdampingan di Perumahan Royal Residence Surabaya. Keenam rumah ibadah itu adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI), Wiyung Royal Residence, Pura Sakti Raden Wijaya, Masjid Muhajirin, Klenteng Ba De Miao, Kapel Santo Yustinus, dan Vihara Budhayana. Dipimpin oleh Linda sebagai moderator, enam narasumber dari latar belakang agama yang berbeda menuturkan toleransi yang tercipta di tengah perbedaan mereka. “Kuncinya adalah tulus hati mau meluangkan waktu berdiskusi untuk mencapai suatu titik temu,” ujar RD. Alphonsus Boedi Prasetijo selaku perwakilan umat Katolik. Melalui Forum “Cangkrukan”, setiap perwakilan agama berdiskusi setiap hari untuk menumbuhkan rasa peduli dengan sesama. Pdt. Sandi Nugroho menambahkan, “Toleransi dimulai dari memperhatikan hal sederhana seperti mengatur tempat parkiran dan jam ibadah. Terjalinnya toleransi setiap hari juga menjauhkan kita dari radikalisme.”   

Sobat GENTA, nilai Pancasila semakin luntur dan terlupakan seiring dengan kemajuan teknologi. Toleransi kini dikalahkan dengan rasa individualisme. Padahal, rasa peduli dan persatuan lah yang membuat bangsa Indonesia bisa berdiri hingga hari ini. Sebagai generasi muda, maukah Sobat mengambil peran dalam menghidupkan kembali nilai-nilai kebangsaan?

About the author /