Day 1 Pekan Buku Sruntul Vol. 3: Bereksplorasi, Berkolaborasi, dan Berkarya

Fotografer: Terrence Cornellius

Day 1 Pekan Buku Sruntul Vol. 3: Bereksplorasi, Berkolaborasi, dan Berkarya

Reporter: Belinda Averina

Di tengah siang bolong, sebuah komunitas sastra asal Surabaya bernama Sruntulisme mengadakan Pekan Buku Sruntulisme Volume 3 di Wisma Jerman yang beralamat di Jalan Taman AIS Nasution Nomor 15, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur. Pekan Buku ini  berlangsung selama tiga hari mulai hari Jumat (02/08/2024) hingga hari Minggu (04/08/2024) mulai pukul 13.00 – 20.00 WIB. Tahun ini merupakan tahun ketiga Sruntulisme mengadakan acara ini. Perjalanan historis Sruntulisme berawal dari penulis terpilih Ubud Writers and Festival (UWRF) 2017, Rizki Amir bersama teman-teman Komunitas Rabu Sore yang memiliki ketertarikan di bidang sastra dan literasi pada tahun 2014. Nama sruntul sendiri berasal dari markas besar mereka yaitu kedai Sruntul di Surabaya.

Ketika pandemi Covid-19 menerjang, kedai itu bangkrut sehingga Rizki dan teman-temannya terpaksa membuka diskusi online selama pandemi. Sruntulisme pun akhirnya bisa berdiri tegak sekaligus mengadakan pekan buku pertamanya pada tahun 2022. Rizki yakin bahwa Sruntulisme merupakan platform kolaboratif yang berfokus pada pengembangan literasi dan sastra kontemporer serta ruang kreatif bagi para praktisi dan akademisi. Kali ini, Sruntulisme menyediakan rangkaian kegiatan menarik yang berbeda dengan dua tahun sebelumnya. Mulai dari diskusi isu sastra, bursa buku murah, penampilan film pendek, penampilan sastra, dan yang paling baru adalah lokakarya ilustrasi serta lomba cipta baca puisi tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) / Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). 

Pada pukul 13.15 WIB, Mochamad Rehan Naza selaku koordinator acara memberikan sambutan sekaligus meresmikan acara. Lomba baca puisi diadakan pada hari Jumat bersamaan dengan dua diskusi sastra. Sebanyak 35 peserta dari 15 Sekolah Menengah Atas (SMA) / Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dari seluruh Indonesia berpartisipasi dan menunjukkan kemampuan terbaik mereka. Ada dua puisi yang dibacakan di lomba ini yaitu “Aroma Tubuhmu” karya Royyan Julian dan “Menanam Bintang” di Ladang karya Dewi R. Maulidah. Ada juga dua juri yakni Alfian Bahri (Pegiat Sastra Indonesia) dan Nur Azizah Oktaviani (Pendidikan Sendratasik Universitas Negeri Surabaya, 2020). Pengumuman pemenang lomba akan dilaksanakan di hari terakhir pekan buku.

Sehabis lomba, diskusi sastra pertama bertemakan “Kerja Riset Sastra di Persimpangan Zaman” dimulai bersama dua narasumber, Yusril Ihza F. A. (Sutradara Teater & Founder Studio Daluang) dan Muhammad Erwan Saing, M.Α. (Akademisi Sastra Indonesia). Mereka membahas bahwa penelitian sastra tidak sepenuhnya kalah dari kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI). Ada istilah sastra populer (pop) yang bermuatan hal-hal yang kontroversial dan bersifat menghibur, sehingga sastra ini paling disukai oleh masyarakat Indonesia. Sementara ada pula sastra kanon (sastra serius) yang mengandung ilmu pengetahuan tinggi serta pengalaman manusia yang sulit ditangkap oleh AI.

“Kita tidak boleh menutup diri bahwa masyarakat Indonesia itu suka yang bermuat visual dan industri, harus punya strategi dan kolaborasi dalam hal itu. Kerja riset tradisional itu penting karena hal itu yang tidak bisa AI cerna,” ujar Yusril. Erwan sepemikiran dengan Yusril dan mengatakan bahwa AI tidak bisa mencapai tiga tangga utama yang harus dimiliki oleh seorang peneliti atau akademisi. “Pertama, terapkan apresiasi. Kedua, attitude. Ketiga, kritik. Apakah AI mencapai ketiga tangga itu? Tidak. Apa yang didapatkan mudah bersama AI, akan memudar begitu cepat juga”, ujar Erwan. Dilanjutkan dengan diskusi sastra kedua yaitu membedah buku puisi bertemakan “Kembang Danyang: Realisme Magis Ala Bojonegoro” bersama sang penulis buku, Hembing Kriswanto, dan Nuurul Izzah Bahalwan selaku pembedah.

Buku ini berisikan 45 puisi dimana Nuurul memilih 5 puisi yang mempresentasikan tradisi dan mitos Jawa secara akurat. Kelima puisi itu berjudul “Sekar Nyekar”, “Luka Mengangap Penyandat Darah”, “Sebab Bahaya Perlu Diingat dan Dirawat”, “Danyang” dan “Pohon Kendat”. Nuurul menjelaskan bahwa sebagian menganggap bahwa danyang itu roh jahat. Namun dalam kebudayaan Jawa, danyang itu yg membabat (membangun) sebuah desa dan dipercaya melindungi pohon, mata air, sawah, gunung, mata angin atau bukit. Danyang juga memastikan hal-hal itu tersentuh matahari. 

Peran danyang dianggap penting oleh masyarakat Jawa. Tradisi atau mitos yang ada di Jawa kerap dinilai oleh masyarakat urban bahwa hal-hal tersebut tidak masuk akal sehingga adil juga bagi masyarakat rural untuk menganggap bahwa tradisi atau mitos yang ada memiliki akar budaya dan filosofi yang melatarbelakanginya. Untuk realisme magis dalam buku mengandung diksi lokal yang tidak sembarang orang awam langsung paham. Misal kata dadung yang berarti tali besar. Bojonegoro sendiri merupakan tempat tinggal dan pulang bagi Hembing serta roh kehidupannya.

Disini, Sobat Genta bisa belajar bahwa dunia sastra dan tradisi di Jawa itu patut dilestarikan dan dimajukan. Jangan biarkan mereka dikalahkan sama AI karena sesungguhnya buatan manusia itu ada masanya. Kalau Sobat Genta nganggur weekend ini dan kehabisan ide buat jalan-jalan, mending mampir ke Pekan Buku Sruntul Volume 3 yang masih berlangsung hari ini dan besok Minggu hanya di Wisma Jerman!

About the author /