Abu-Abu Dunia Plagiarisme

Illustrator: Justyn Theodore Tio

Abu-Abu Dunia Plagiarisme

Oleh: Thalia Angelica

Deadline-nya udah mepet, copas aja deh!”, “Buat apa bikin sendiri, tinggal copas kok.” Ungkapan-ungkapan seperti ini sudah tidak asing di telinga mahasiswa. Copas merupakan singkatan dari copy paste yang artinya menyalin suatu pekerjaan. Istilah ini muncul akibat seringnya terjadi penyalinan tugas-tugas perkuliahan di kalangan mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa meng-copas karya seni rupa atau jurnal ilmiah di internet kemudian mengumpulkannya sebagai hasil karya pribadi. Terdengar sederhana, tetapi sebenarnya tindakan ini tidak bersifat legal, lho. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai plagiarisme. 

Plagiarisme berasal dari kata plagiarism dalam Bahasa Inggris dan plagiarius dalam Bahasa Latin yang artinya penjiplak. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan plagiarisme sebagai pengambilan karangan atau pendapat orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan atau pendapat sendiri. Dalam tulisan Plagiarism and Originality, Alexander Lindey mengartikan plagiat sebagai tindakan menjiplak ide, gagasan atau karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri atau menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya sehingga menimbulkan asumsi yang salah atau keliru mengenai asal muasal dari suatu ide, gagasan atau karya (Soelistyo, 2011). 

Beberapa kasus plagiarisme kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini, lagu ‘Keke Bukan Boneka’ yang dipopulerkan oleh Kekeyi memuncaki trending 1 YouTube Indonesia. Lagu tersebut dianggap memiliki kesamaan dengan lagu ‘Aku Bukan Boneka’ ciptaan Novi Umar yang dipopulerkan oleh Rinni Wulandari 2007 silam. Novi pun menyayangkan perilaku tim manajemen Kekeyi yang dianggap tidak memahami Hak Kekayaan Intelektual. Tidak hanya di dunia hiburan, kasus seperti ini juga kerap terjadi di dunia akademis. Pada tahun 2014, Anggito Abimanyu, seorang Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) membuat karya tulis berjudul ‘Gagasan Asuransi Bencana’ yang dimuat dalam sebuah koran nasional. Namun, karya tulis Anggito dianggap menjiplak karya tulis berjudul ‘Menggagas Asuransi Bencana’ milik Hotbonar Sinaga, seorang Dosen Universitas Indonesia (UI). Akhirnya, Anggito pun mengundurkan diri dan mengaku melakukan kesalahan pengutipan referensi. Hal serupa juga kerap terjadi di dunia desain. Misalnya, seorang perancang busana dianggap plagiat karena ditemukan kemiripan antara karyanya dengan busana lain. 

Berkaca dari kasus-kasus tersebut, plagiarisme dapat berdampak negatif bagi pelaku. Orang yang melakukan plagiarisme cenderung semakin malas, tidak kreatif, kehilangan reputasi,  dan dapat terjerat kasus hukum. Di Indonesia sendiri, plagiarisme diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal 44 ayat (1a) mengategorikan suatu tindakan sebagai plagiarisme apabila pelaku mengambil “sebagian yang substansial” atau ciri khas dari karya pihak lain. Meskipun sudah diatur dalam UU, masih terdapat area abu-abu mengenai keberadaan suatu karya sebagai hasil plagiarisme. 

Setiap institusi memiliki kebijakan plagiarisme yang berbeda-beda. Salah satu acuan yang paling sering digunakan adalah software Turnitin. Lebih dari 4000 institusi telah menggunakan software ini termasuk University of California dan Dartmouth College. Turnitin menganggap suatu karya sebagai plagiarisme apabila ditemukan lebih dari 15% kemiripan dengan sumber. Jika tingkat kemiripan melebihi 25%, karya tersebut dianggap memiliki tingkat plagiarisme yang tinggi. Sayangnya, ukuran ini sulit digunakan untuk hasil karya berbau seni yang sifatnya subjektif. Alhasil, banyak pihak yang mengaku terinspirasi dari suatu karya, tetapi dituduh melakukan plagiarisme. 

Taruna K. Kusmayadi yang pernah menjabat sebagai ketua Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) berpendapat, cara mengidentifikasi plagiarisme di dunia desain dapat dilihat melalui detail pada karya. Contohnya, aplikasi motif pada suatu busana. Apabila motif tersebut memiliki ukuran, jenis, warna, bahan, dan penempatan yang sama, maka karya tersebut dapat dikatakan plagiat. 

Mengutip situs Grammarly.com, terdapat empat cara untuk mencegah plagiarisme karya tulis, antara lain mengutip sumber, menyertakan kutipan, membuat parafrase, dan menggunakan fitur anti plagiarisme.

Pertama, mengutip sumber karya. Sebuah karya dapat dikatakan plagiat apabila penulis tidak menyertakan sumber. Dalam karya tulis, penulis dapat mengutip sumber dengan menyertakan daftar pustaka. 

Kedua, menyertakan kutipan. Salah satu cara termudah untuk mencegah plagiarisme adalah menggunakan tanda kutip pada kalimat yang diambil. Tak hanya itu, penulis juga harus menyertakan nama dan tahun sebagai sumber kutipan tersebut.

Ketiga, melakukan parafrase karya tulis. Parafrase adalah penulisan ulang suatu ide atau informasi dengan cara yang berbeda tanpa mengubah makna tulisan tersebut. Beberapa cara yaitu dengan menggunakan kosa kata dan gaya bahasa yang berbeda. Akan tetapi, hanya melakukan parafrase bukan berarti kita terbebas dari plagiarisme. Meskipun telah melakukan parafrase, penulis harus tetap menyertakan sumber.

Keempat, menggunakan fitur anti plagiarisme. Setelah melakukan pencarian di internet, tanpa sadar penulis bisa saja menambahkan kalimat yang ditemukan tanpa menyertakan sumber. Cara terbaik untuk mengatasi hal ini yaitu menggunakan software anti plagiarisme. Beberapa software seperti Grammarly, Duplichecker, dan Turnitin menyediakan fitur ini. Software tersebut akan menampilkan kata atau kalimat yang memiliki kesamaan dengan sumber lain.

Sedangkan plagiarisme di ranah desain dapat dicegah dengan menyertakan watermark ataupun sumber inspirasi pemilik karya. Hal ini pun berlaku untuk karya berupa ilustrasi dan fotografi. Selain itu, beberapa software seperti Google Images dan TinEye juga menyediakan fitur anti plagiarisme desain. Pengguna hanya perlu mengunggah hasil desain lalu software akan menampilkan gambar-gambar yang memiliki kemiripan.

Memang terkadang sulit untuk mengidentifikasi plagiarisme terutama dengan batasan yang masih abu-abu keberadaannya. Akan tetapi, kita dapat mencegahnya dengan mengaplikasikan cara-cara tersebut. Lewat hal ini, secara tidak langsung kita turut menguatkan keberadaan hukum hak cipta di Indonesia. Selain itu, kita juga dapat mengedukasi orang yang belum mengerti tentang plagiarisme. Contohnya, mengingatkan mereka untuk tidak serta-merta menggunakan suatu karya untuk kepentingan pribadi tanpa menyertakan sumber. Harapannya, semakin banyak orang menghindari tindakan plagiarisme dan pemilik karya memperoleh apresiasi yang layak.

Bagaimana dengan Sobat GENTA? Sekarang kita sudah mengetahui cara untuk mencegah terjadinya plagiarisme. Jangan sampai dorongan untuk melakukan plagiarisme menjadi halangan bagi kita untuk berkreasi. Bukankah hasil kerja keras sendiri lebih membanggakan kita kelak? Tetap semangat dan jangan asal copas lagi ya!

About the author /