Absen Kutitip, Siapa Merugi?

Ilustrator: Josephine Prasetyo

Absen Kutitip, Siapa Merugi?

Oleh: Hendro Richard D. P.

Saya pertama kali mendengar akronim itu di semester pertama. Waktu itu saya berpikir, cepat sekali teman-teman memikirkan masa depan? Namun ternyata TA yang dimaksud adalah “titip absen”, bukan “tugas akhir” yang katanya menjadi teman hidup mahasiswa senior (selain skripsi tentunya). Dulu ketika saya masih menjadi seorang siswa, presensi atau yang seringkali kita sebut absensi selalu dilakukan oleh guru dengan memanggil nama siswanya satu per satu. Jika sudah mulai hafal dengan murid-muridnya, para guru hanya akan menanyakan siapa saja yang tidak hadir alias absen hari itu. Hal tersebut berubah setelah saya naik tingkat menjadi mahasiswa. Daftar presensi tidak selalu berada di tangan dosen. Dari sanalah kreativitas mahasiswa kemudian melahirkan sebuah sistem kerja sama terbaik sepanjang sejarah, titip absen.

Pada dasarnya, semua orang menolak titip absen dan memandangnya sebagai suatu tindakan yang salah. Kalau Anda punya teman yang memandang titip absen adalah hal yang lumrah dan dapat dibenarkan, tolong tanyakan ini pada mereka, “Maukah kamu menggaji seorang pegawai yang tidak pernah hadir, tapi daftar presensinya lengkap?” Jika temanmu berkata iya, segeralah mendaftar jadi pegawainya! Titip absen di perkuliahan pun sama, mendapat nilai dan lulus adalah hak Anda sebagai mahasiswa seperti pegawai mendapatkan gajinya. Tentu tidak adil bila Anda mendapat hak tersebut tanpa menyelesaikan kewajiban perkuliahan terlebih dulu. Mungkin ada sebagian yang berpikir membayar USPP dan UPRS adalah kewajiban mahasiswa. Selama itu terpenuhi, hak mendapat nilai boleh diperoleh. Ada benarnya, tetapi hal yang lebih tepat disebut kewajiban mahasiswa adalah mengikuti seluruh aturan universitas tempatnya menimba ilmu. Termasuk mengikuti aturan perkuliahan dengan waktu dan jumlah yang ditentukan. USPP dan UPRS sejatinya adalah reward yang kita berikan kepada mereka yang telah memenuhi tugas untuk mendidik dan membimbing kita.

“Toh, tidak merugikan siapa-siapa.” Mungkin itu yang sering terlintas di pikiran kita saat hendak melakukan titip absen. Mereka yang menitip absen mendapat “keuntungan”, sedangkan mereka yang menandatangani daftar presensi juga tidak rugi (selama tidak ketahuan) atau bahkan dapat sedikit reward berupa makan siang atau jajan pentol dari si penitip. Namun, kita lupa bahwa ketika kita menitip absen kita sedang melewatkan sesi kelas, yaitu saat di mana kita mendapatkan ilmu dan bimbingan. Secara matematis kita telah menyia-nyiakan uang kuliah yang tidak sedikit. Bagaimana dengan yang membantu? Pertama, harus kita pahami bahwa teman yang baik itu saling menumbuhkan. Kita tidak membiarkan atau bahkan mendukung perbuatan negatif mereka. Dengan membantu aksi titip absen teman, kita sama saja menjerumuskan mereka ke dalam hal negatif. Kita sebagai orang yang mau menandatangani presensi mereka juga telah menjatuhkan diri untuk melakukan perbuatan yang tidak berintegritas.

Titip absen mungkin sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian kecil dari kita. Tentu bukan hal yang mudah untuk berubah, tetapi perubahan kecil lebih baik daripada terus-menerus melakukan hal yang salah. Awali dengan rendah hati mengakui bahwa titip absen adalah tindakan yang salah. Berusahalah menghargai setiap waktu dan kesempatan belajar yang kita miliki, bahkan untuk mata kuliah yang menurut kita membosankan sekalipun. Kita tidak pernah tahu, mata kuliah yang kita remehkan bisa saja menjadi bekal yang menolong kita di masa depan. Tolak dengan baik permintaan teman untuk mengabsenkan mereka, jelaskan alasannya dengan rendah hati. Risiko anda ditolak dan dijauhi teman memang ada, tapi bukankah pertemanan yang sejati harus diuji? Mari bersama-sama tekun dan setia dalam perkara kecil. Karena dari kesetiaan dalam perkara kecil itulah, akan dipercayakan kepada kita tanggung jawab yang lebih besar.**

Tagged with:     , ,

About the author /